Selasa, 24 Juni 2008

Tahi Mata Hitam

Haris del Hakim

Kehadiran bayi pertama pada usia sepuluh tahun pernikahan merupakan kebahagiaan tak terkira bagi Juragan Kosim. Kekayaan yang melimpah ruah hasil keringat bertahun-tahun tidak akan hilang begitu saja. Sayangnya, kebahagiaan itu belum sempurna. Bayi itu belum pernah menangis sejak lahir. Sebagaimana kata orang, anak itu akan tumbuh dewasa sebagai orang bisu.

Meskipun demikian, setiap pagi Juragan Kosim bangun lebih awal dari sebelumnya. Dia langsung mencumbu anaknya dengan mencubitnya keras-keras. Dia berharap bayi mungil itu menangis. Tetapi, makhluk kecil itu hanya bergerak-gerak sambil mengerutkan pipinya, layaknya anak yang menangis karena kesakitan. Juragan Kosim terus mencubit hingga terlihat kulit yang memerah di beberapa tempat. Setelah itu Juragan Kosim menggendong bayinya keliling kampung. Apa pun keadaannya, bayi itu adalah anak yang lahir dari rahim istrinya. Selama ini orang-orang menganggap dirinya mandul dan bayi itu dengan sendirinya telah membongkar kebohongan mereka. Dia adalah lelaki sehat.

Sementara itu, desas-desus di masyarakat bermacam-macam. Sebagian orang mengatakan bayi itu hasil perselingkuhan istri Juragan Kosim dengan Juragan Seno, mitra bisnis Juragan Kosim. Sebagian lagi mengatakan benih Pak Modin. Sebagian lagi mengatakan Juragan Kosim sengaja menyuruh Bondan, satu-satunya sarjana kedokteran di kampung. Dan masih banyak cerita yang menunjukkan bayi itu bukan putra Juragan Kosim. Untungnya, bayi itu hanya mirip dengan ibunya, bagai pinang dibelah dua, sehingga orang-orang tidak bisa membenarkan desas-desus yang beredar di kalangan mereka.

Pada hari ketujuh Juragan Kosim mengundang hampir seluruh penduduk dalam acara pemberian nama dan potong rambut bayi. Seusai acara dan semua tamu undangan sudah pulang, tiba-tiba anak Juragan Kosim menangis sekeras-kerasnya. Juragan Kosim hampir melompat kegirangan. Dia merasa bayi itu menolongnya terhindar dari anggapan orang-orang kalau anaknya akan tumbuh dewasa sebagai orang bisu. Dia memanggil kembali tamu-tamu yang pulang untuk membuktikan sendiri kalau anaknya dapat menangis. Beberapa tamu hendak kembali, namun mengurungkan niatnya begitu tercium bau amis seperti darah dan bacin seperti nanah.

Juragan Kosim menghentikan seruannya. Cuping hidungnya kempas-kempis mencium bau yang semakin lama semakin anyir. Dia mencari-cari dari mana asal bau itu. Cahaya lampu yang terpantul dari dinding berkeramik biru muda tidak banyak membantunya. Juragan Kosim pun merasa lelah dan bermaksud merebahkan bayinya di kamar, di samping istrinya. Istrinya yang berbaring segera menyumbat hidung dan menyuruh suaminya pergi.

“Jangan lama-lama di sini!” kata istrinya. “Baumu busuk sekali.”
“Ya, ya. Aku sendiri tidak tahu mengapa tiba-tiba ada bau busuk dan membuatku mau muntah seperti ini,” jawab Juragan Kosim.

Bayi yang tertidur pulas dalam gendongan bapaknya tiba-tiba menangis lagi, mungkin hendak dibaringkan atau mendengar suara bentakan ibunya. Juragan Kosim mengangkat lagi anaknya, namun pandangannya nanar pada tahi mata yang keluar dari sudut mata anaknya. Tahi mata itu tidak berwarna putih kekuningan layaknya tahi mata, tetapi kehitaman dan mirip lumpur. Seperti menyesali mengapa tidak memperhatikan sejak tadi, dia segera merebahkan anaknya dan menyuruh istrinya untuk menyusui bayi itu. Dia sendiri memeriksa pakaiannya dan melihat tahi mata hitam itu menempel di sana-sini. Ujung telunjuknya mengambil tahi mata itu dan menciumnya, kemudian secepat kilat dia menutup hidung rapat-rapat karena tidak tahan dengan baunya. Dia menyodorkan tahi mata itu ke hidung istrinya seraya mengatakan, “Bau busuk itu berasal dari tahi mata anak kita.”

Istri Juragan Kosim hampir muntah. Suaranya cukup keras hingga mengundang rasa ingin tahu sanak kerabat yang belum pulang. Kepala mereka terjulur di pintu seraya bertanya ada apa dan segera saja Juragan Kosim memijat leher istrinya. Dia tersenyum-senyum, “Istriku tidak apa-apa. Mungkin dia sedang masuk angin.”

Istrinya mengangguk dengan tangan yang berusaha menutupi mulutnya. Kemudian, kepala-kepala di pintu itu pun menghilang. Juragan Kosim cepat-cepat mengganti pakaiannya juga kain gedongan anaknya yang ternodai oleh tahi mata hitam itu. Dia membungkusnya rapat-rapat kemudian menyemprotkan minyak pengharum ruangan dalam bungkusan itu.

“Kita harus menyimpan rahasia ini. Betapa malunya kita bila penduduk tahu hal ini.” kata Juragan Kosim yang disepakati oleh istrinya.

Akan tetapi, kabar tentang bayi Juragan Kosim bertahi mata lumpur dan berbau tidak sedap segera menyebar ke seluruh penduduk. Padahal, Juragan Kosim sudah berusaha menyimpan rahasia itu dengan tidak lagi mengajak bayinya jalan-jalan pagi keliling kampung. Dia merasa kuatir bayinya tiba-tiba mengeluarkan tahi mata yang menyebarkan bau tidak sedap itu. Begitu pula dengan memandikan bayi. Biasanya sengaja dilakukan di depan rumah, tapi kemudian dipindahkan ke belakang rumah. Hal itu justru membuat orang-orang curiga dan menyirap kabar tentang perubahan kebiasaan Juragan Kosim. Mereka pun berhasil mengorek kabar dari dukun beranak yang memandikan anak Juragan Kosim dan dikuatkan oleh perempuan-perempuan yang bermaksud menjenguk bayi itu, namun dilarang masuk kamar dengan alasan bayinya sedang tidur dan dikuatirkan akan mengganggunya.

Keadaan itu berdampak pada usaha Juragan Kosim. Warung makannya yang tidak pernah sepi pembeli berubah menjadi lengang. Para penggarap sawahnya satu persatu mengundurkan diri. Orang-orang pun tidak mau lagi menjual hasil tambak mereka kepadanya. Bahkan, perlahan-lahan orang-orang mulai mengasingkannya.

Berbagai usaha telah dilakukan Juragan Kosim untuk menyembuhkan kelainan pada anaknya itu. Puluhan dokter telah dikunjunginya dan hampir semua bersepakat untuk menghiburnya tanpa memberikan sedikit perubahan pada anaknya. Mereka mengatakan tahi mata hitam itu tidak berbahaya dan akan hilang dengan sendirinya saat usia dewasa. Tiga orang dokter spesialis menyarankannya untuk menyerahkan bayinya pada laboratorium kesehatan, karena kejadian itu sangat aneh dan merupakan fenomena baru di bidang kesehatan. Tentu saja Juragan Kosim menolaknya mentah-mentah. Beberapa kiai juga didatanginya. Mereka juga seakan telah bersepakat bahwa di balik tahi mata hitam itu pasti ada hikmahnya.

Hampir setahun usia bayi itu dan hampir pula dapat berjalan, tetapi tahi mata hitam berbau itu tidak kunjung hilang. Setiap bangun tidur tahi mata itu sudah meleleh di pipinya. Juragan Kosim sudah kehabisan akal.

“Bu,” kata Juragan Kosim pada istrinya. “Aku sudah tidak kuat lagi dengan anak kita. Lama kelamaan kita akan berubah menjadi melarat. Dulu kita mengharap-harapkan kelahirannya semoga membahagiakan kita, tetapi kehadirannya justru menyengsarakan kita.”

Istri Juragan Kosim memperhatikan raut muka suaminya. Ia bertanya, “Lantas kamu mau membuangnya?”

Juragan Kosim hanya menundukkan pandangan. Pikiran seperti itu pernah terbersit dalam benaknya, namun hingga saat ini dia masih membiarkan dan bahkan merawat bayi itu dengan baik. Apabila dia benar-benar hendak menyingkirkan anak itu, tentu lebih baik dia menyerahkannya pada laboratorium kesehatan. Para polisi tidak akan memburunya sebagai seorang pembunuh.

Sementara itu, keadaan ekonomi Juragan Kosim semakin parah. Warung makannya tutup. Sawahnya terbengkalai. Usaha jual beli ikan pun tidak berjalan. Tabungannya tidak hanya habis, tetapi berganti tumpukan hutang untuk biaya pengobatan anaknya.

Sepanjang hari Juragan Kosim duduk termenung di belakang rumah. Dia hanya memata-matai tanpa menoleh ke arah istrinya yang sedang menuntun anaknya berjalan. Sesekali dia mengusap-usap hidungnya dan istrinya mafhum kalau anaknya sedang mengeluarkan tahi mata. Istrinya pun segera mengeluarkan tissu harum dan menghapus tahi mata itu dari pipi anaknya.

“Bu,” kata Juragan Kosim pada istrinya. “Aku tidak tahu apakah aku masih kuat dengan anak kita. Kita sudah berubah menjadi melarat. Dulu kita mengharapkan kelahirannya akan membahagiakan kita, tetapi kehadirannya justru menyengsarakan kita.”

“Sudah berapa kali kamu mengatakan kalimat itu?” tanya istrinya. “Telingaku seakan tidak dapat mendengar kata-kata lain.”

Juragan Kosim mengeluarkan nafas berat seakan telah memendam ucapannya selama berhari-hari. “Aku akan menyerahkan anak itu ke laboratorium kesehatan. Mudah-mudahan mereka mau menebusnya sejumlah kekayaan yang kita keluarkan untuk membiayainya. Paling sedikit, separuh saja cukup untuk modal usaha kita lagi.”

“Aku tidak rela. Aku yakin tahi mata anak kita akan berubah menjadi putih kekuningan, seperti layaknya anak-anak yang lain.”

“Kita sudah sering menghibur diri dan kita tidak menemukan buktinya,” bantah suaminya. “Aku tahu kamu pasti tidak rela. Aku pun tidak rela, tapi aku belajar menguatkan hati untuk merelakannya. Kukira kamu bisa berlatih sejak sekarang, sebelum anak itu benar-benar kuserahkan pada laboratorium kesehatan.”

Kemudian Juragan Kosim memberi batasan waktu selama setahun lagi. Apabila tidak ada perkembangan yang lebih baik, maka merelakan anak tunggalnya adalah jalan terbaik. Istrinya tidak memberikan pendapat.

Setahun tenggang waktu itu tinggal sebulan lagi. Anak Juragan Kosim, yang sekarang melarat, tidak kunjung lebih baik. Tahi matanya masih hitam dan berbau. Istri Juragan Kosim jatuh sakit memikirkan nasib anaknya, sehingga Juragan Kosim sendiri yang harus memasak di dapur. Saat itulah tangan Juragan Kosim tersayat pisau dan mengeluarkan darah berwarna hitam legam dengan bau menyengat hidung.

Surabaya, september 2007

Tidak ada komentar: