Selasa, 24 Juni 2008

PERNIKAHAN DUA BULAN

Haris del Hakim *

Purwani menjatuhkan dua butir jagung di atas tanah yang telah di-cebloki. Angin sawah musim kemarau yang panas menembus kain bajunya. Keringat menetes dari dahinya. Kulitnya yang sawo matang tampak semakin gelap mendapatkan sinar pantulan dari tanah yang coklat. Sementara itu, suaminya terus menjatuhkan batang kayu yang berfungsi untuk membuat lubang di atas tanah. Pandangan matanya terus ke bawah.

Mereka menikah dua bulan yang lalu. Bagi mereka bulan madu hanya berumur seminggu dan selebihnya adalah kembali bekerja, memeras keringat untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri. Tidak ada yang luar biasa dalam pernikahan. Seperti sendawa. Nafas berhenti sejenak kemudian mengalir kembali.

Sejak pagi mereka telah bekerja dan baru separuh lahan yang tertanami. Mereka seperti sengaja menentang panasnya matahari dan menakar kekuatan kulit kakinya. Kaki-kaki mereka yang telanjang terus melangkah.

“Ndalu, aku lelah,” ujar Purwani menyeka keringat di dahinya.
Pandalu menoleh ke belakang dan melihat keringat yang berjatuhan dari dahi istrinya. “Istirahatlah!”

“Tapi, kita belum selesai menaburkan benih ini.”
“Istirahatlah sebentar dan nanti lanjutkan kembali. Biarkan aku nyebloki guludan ini sampai selesai dan kubantu menanam.”

Purwani memberi tanda batas tanah yang telah ditanaminya dengan tonggak jagung yang masih tersisa dari panen sebelumnya. Ia melangkah ke pematang, di bawah rimbun pohon pisang. Didudukkannya tubuhnya yang ramping. Ia memandang suaminya, mengikuti irama langkah kaki dan batang ceblok yang jatuh. Satu dua. Satu dua.

Perempuan muda itu pun membuka kain penutup makanan yang dibawanya dari rumah. “Ndalu, kita makan dulu,” teriaknya.

Pandalu menjawab dengan pandangan yang terus ke bawah, seakan takut jatuhnya kayu di genggaman tangannya tidak tepat di atas kowakan. Sedangkan istrinya telah memasukkan nasi jagung ke dalam mulutnya. Sayur lodeh dan ikan asin terasa nikmat di mulutnya, apalagi angin yang berubah semilir begitu bersentuhan dengan pepohonan pisang.

Beberapa saat kemudian, Pandalu merasa lelah dan menyusul istrinya untuk istirahat. Ia beranjak ke tempat istrinya. Dibiarkan saja istrinya yang bersandar di batang pohon pisang. Ia pandangi wajah manis yang dipujanya sejak setahun lalu. Masa-masa bunga bersemi ketika jatuh cinta telah menjelma keberanian dan membuat mereka harus menjalani kenyataan. Kehidupan suami istri seperti penyerbukan putik dan kembangsari yang dihembus oleh angin. Terkadang hanya sejumput yang didapatkan dan berbuah bogang, namun tidak ada yang berharap seperti itu. Semua petani berharap bahwa tanamannya harus tumbuh dengan subur dan berisi.

Pandalu tidak mau membangunkan istrinya. Ia membuka sendiri kain penutup makanan dan mulai memasukkan nasi jagung itu ke mulutnya. Decak-decak pelan terdengar, mengiringi gerakan bibirnya yang terbuka saat melahap makanan.

Nasi jagung dalam bakul itu pun tinggal separuh. Ia mengakhiri makan dan matanya mencari-cari botol air minum kemasan yang telah diisi dengan air tanakan istrinya. Ia bersedah-sedah merasakan pedas sayur lodeh.

Ia bertanya pada istrinya, “Wan, di mana minumnya.”
Purwani tidak memberikan jawaban. Angin yang berhembus seperti membuatnya semakin menikmati keadaannya. Pandalu coba berdiri dan melengok ke sana kemari, mencari air. Tetapi, air yang dicarinya seakan sengaja sembunyi begitu tahu ia diperlukan.

“Wan, di mana air minumnya,” tanya Pandalu kembali.
Tetapi, tetap saja tidak ada jawaban. Pandalu coba menyentuh tangan istrinya. Lemas. Perempuan yang dicintainya tidak memberikan tanggapan apa pun. Dingin. Pandalu coba menggoyang bahu istrinya dengan tangan kiri, tapi perempuan itu tidak juga membuka matanya. Pandalu semakin gelisah. Ia letakkan piring ke tanah kemudian membersihkan tangannya yang kotor dengan mengusapkan ke batang pohon pisang.

Lelaki berkulit coklat itu menggoyang-goyang tubuh istrinya lebih kuat dengan kedua tangannya. Perempuan itu belum juga bergeming. Benak Pandalu penuh dengan bayangan-bayangan yang menakutkan. Perpisahan sepanajng kehidupan yang akan dijalaninya. Betapa menyakitkan. Putik akan terbang sesuka hati menuruti ke mana arah angin, tanpa keyakinan sebonggol jagung yang ranum setia menunggunya. Pandalu meraba hidung istrinya, mencari udara yang keluar masuk sebagai tanda kehidupan. Aliran udara itu begitu lemah, seperti angin yang terhadang rerimbun dedaunan.

“Wan, bangun!” jerit Pandalu.
Seperti isyarat yang diterimanya begitu saja, ia mendekap tubuh istrinya. Tetes air mata mulai membasahi kelopak matanya dan jatuh ke dada istrinya. Tetesan itu semakin lama kian deras dan tidak terbendung lagi. Tangis yang perlahan berubah menjadi sesenggukan.

“Wan, bangun!”
Entah kepada siapa kata itu ditujukan. Sebujur tubuh yang didekapnya benar-benar tidak menghirup udara. Perempuan yang bersedia setia menjadi istrinya hanya menjadi tubuh yang lemas dan perlahan mulai memucat. Burung kutilang yang berkicau seakan telah menyanyikan lagu duka.

“Wani, mengapa kamu tinggalkan aku sendirian.”
Gairah yang semula penuh gelisah dan cemas telah berubah menjadi ratapan. Ia hendak mengutuk waktu yang tidak mau bersekutu dengannya untuk menikmati kebahagiaan. Seperti masih tidak percaya, ia memandang wajah istrinya. Bibir coklat tua itu tersenyum dan mengenangkan kalimat yang pernah dikatakannya saat mereka berjanji untuk mengikat kasih cinta.

“Wani, kamu harus berjanji untuk tidak menangis. Walau seberat apa pun cobaan yang akan menghadang kita, kita harus tersenyum.”

Dan perempuan yang berada di dekapannya itu yang memberikan jawaban, “Ya, kamu juga tidak boleh meneteskan air mata atas apa pun yang menimpa kita.”

Saat kembang cinta bersemi tentu jauh dari musim gugur. Ia mencubit pipi istrinya dan berkata, “Tidak! Aku tidak akan menangis, karena yang kupuja telah kutanam dalam hatiku.”

Kemudian mereka tertawa bersama.
Pandalu tersenyum getir. Betapa pahit rasanya menahan air mata dari dada yang bergemuruh. “Aku tidak akan menangis, Wani.”

Ladang-ladang senyap tanpa manusia. Panas matahari telah menyuruh petani-petani tua yang mudah lelah agar segera pulang. Petani-petani muda hanyalah nama yang tidak dapat membuat seseorang bangga kepada temannya. Lagipula, tanah-tanah sudah tidak berharga dan mendapatkan air mesti bersusah payah dengan biaya yang tidak sedikit, sementara panen bukan harapan yang menyenangkan. Hanya keyakinan bahwa alam pun tidak sudi hanya sekedar sebagai tempat berpijak bagi cakar-cakar beton, yang membuat Pandalu dan Purwani mempertaruhkan hidupnya. Hanya kekuatan cinta yang mengajari mereka cara menanam dengan indah, seperti pula tanaman yang mengajari mereka cinta yang tulus.

Pandalu membujurkan tubuh istrinya. Disedekapkannya kedua belah tangan. Matanya terjenak pada butir-butir kecil warna merah di sela jari tangan kanan istrinya. Ia menatap tidak percaya dengan mendekatkan tangan itu lekat ke depan matanya. Nafasnya begitu berat ditarik dan dihembuskan. Setets air matanya jatuh dan selagi masih mengalir di pipinya segera diseka dengan bahunya yang hitam kekar.

“Mengapa kamu tidak mencuci tanganmu, Wan?” bisik lirih Pandalu. “Benarkah perutmu sudah sangat lapar, sehingga kamu lupa racun itu akan membunuhmu perlahan-lahan?”

Ia seperti berbicara pada angin dan tak pernah ada jawaban. Ia menyesal, mengapa tidak menyuruh istrinya untuk mencuci tangan, karena fungisida yang ditaburkan pada benih jagung bukan hanya untuk membunuh tikus, namun juga makhluk hidup. Perlahan-lahan sekali.

Sekali lagi tidak boleh ada air mata yang menetes, sepahit apa pun kenyataan yang harus dijalani.

Pandalu menyedekapkan tangan istrinya dan menutupinya dengan sarung. Tubuh itu telah bersentuhan erat dengan tanah dan ia di ambang bimbang antara menunggu hingga seseorang datang dan memberitahukan kematian istrinya ke rumah atau pulang dan membiarkan tubuh istrinya dirayapi oleh semut-semut.

“Aku akan setia di sini sampai senja sekalipun, sebab aku percaya petani pun setia mengunjungi ladangnya di waktu senja.”

Ia duduk di samping istrinya, tepat di sebelah kanan kepalanya. Doa-doa dilantunkan. Mohon ampun dipanjatkan. Segala khilaf kiranya lumrah. Manusia tidak lebih sehelai rambut yang kerap goyah dihembus angin.

Sekali lagi tidak boleh ada air mata yang menetes, sepahit apa pun kenyataan yang harus dijalani. Apalah doa bila hanya ratapan.

Pandalu bergegas meninggalkan istrinya kemudian mengambil wadah benih dan melanjutkan sampai di mana istrinya tadi menanam. Batinnya terbentang lapang seluas padang Kurusetra, medan pertempuran Pandawa dan Kurawa. Dia bukan Pandawa atau Kurawa. Dia adalah Kurusetra yang tidak hendak berpihak kepada yang kalah dan menang. Dia hanyalah saksi.

Sebelum genap ia menjatuhkan jagung di atas ceblokan yang dibuatnya, Pandalu menumpahkan bulir benih di wadah dan menimbunnya di dalam tanah. Kemudian ia pergi ke arah istrinya.

“Wani, aku sudah membuang benih beracun itu. Kalau nanti benih yang kamu tanam telah tumbuh, maafkan aku bila harus membabatnya. Bukan karena aku tidak ingin kenangan darimu, tetapi aku tidak mau kematianmu akan disusul oleh kematian-kematian yang lain.”

Pandalu mengangkat tubuh istrinya dan membawanya pulang.
Sekali lagi tidak boleh ada air mata yang menetes, sepahit apa pun kenyataan yang harus dijalani.

Kediri, 29 Agustus 2005

• Ceblok adalah batang kayu yang ujungnya dilancipi dan berfungsi untuk membuat lubang di dalam tanah sebagai tempat taburan benih. Sementara ceblokan adalah lubang yang dihasilkan oleh ceblok.
• Guludan merupakan gundukan tanah di tengah ladang sebagai tempat kowakan, cerungan di atas guludan yang biasanya sebesar cangkul.

*) Haris Del Hakim, penulis novel dan cerpen.

Tidak ada komentar: