Senin, 26 September 2011

MEREKA TIDAK HARUS MATI

Haris del Hakim
http://sastragerilyawan.blogspot.com/

Kastumiun menambatkan perahu di batang trembesi sebesar lengan, menjejakkan kaki di bibir perahu, melompat ke atas pematang tambak, melihat tambak yang berair keruh dan ikan-ikan bandeng timbul tenggelam; sesekali bagian perut ke atas, berusaha menyelam lagi, timbul lagi. Ikan-ikan dalam keadaan seperti itu memenuhi separuh permukaan tambak.

Lelaki berumur setengah baya itu melompat ke tambak, tanpa melepas baju atau celana seperti yang dilakukannya saat menabur pupuk urea untuk menghijaukan air, dan merabai tanah. Tangannya berkali-kali menyentuh ikan-ikan yang mati. Kemudian dia mentas ke pematang dan melompat lagi ke perahu. Setelah melepas ikatan tali di pohon trembesi, dia mengayuh perahu itu cepat-cepat. Dia hanya menoleh sebentar pada tambaknya yang ada di sebelah kiri kali desa dan mendayung kembali. Dari kejauhan dia melihat anak sulungnya sedang mengayuh sepeda dengan boncengan kosong belum mengangkut rumput sama sekali. Dia memanggilnya dan anak berumur limabelas tahun itu pun mendekat dan bertanya, “Ada apa, Pak?”

“Cepat panggil Paman Sartono dan Kak Muji. Katakan ikan di tambak timur kali sedang mati,” kata Kastumiun.
“Bapak mau ke mana?”
“Ambil keranjang,” jawab Kastumiun seraya mendayung perahunya kembali.

Satu jam kemudian empat orang sedang menyelami tambak Kastumiun. Mereka mengambil ikan-ikan yang mati. Ikan-ikan bandeng itu masih terhitung kecil, 1 kg berisi 10 ekor, walaupun sudah dipelihara selama lima bulan lebih. Tetapi, daripada harus membiarkannya mati lebih baik dipanen sekadar cukup untuk menutupi biaya pengairan dan beli pupuk; meskipun penghasilan mereka hanya ¼ dari semua biaya itu sudah terhitung lumayan daripada rugi total.

“Pupuknya pasti telat,” tebak Sartono yang berkumis tebal. Caping hitamnya hampir basah oleh air.
“Mestinya sepuluh hari lalu ditaburi,” jawab Kastumiun. “Tapi, tidak ada yang punya pupuk sekarang.”

“Aku kemarin dapat satu zak,” sela Muji sambil melemparkan ikan bandeng ke dalam keranjang. “Itu pun belum cukup untuk tiga petak tambakku.”
“Berapa harganya?” tanya Sartono.
“Dua kalilipat dari harga biasa,” jawab Muji.

“Namaku sudah terdaftar di toko Hasri, tetapi stoknya belum datang. Katanya seminggu lagi, padahal tambak yang satu sudah seminggu tidak disebari pupuk,” jelas Kastumiun.

Tanpa terasa matahari sudah bergerak ke arah barat. Istri Kastumiun datang membawa kiriman makanan dan minuman sekadarnya. Dia menyuruh semua orang berhenti sejenak, “Makan dulu!”

Empat orang di dalam tambak itu menjawab hampir secara bersamaan, “Sebentar lagi!”
Mereka telah menyisir hampir separuh luas tambak dan masih ada separuh lagi. Sartono berdiri, melihat ikan di keranjang, dan mengajak keponakannya—anak sulung Kastumiun—untuk membantu mengangkat keranjang ke pematang dekat kali.

“Istirahat dulu, Ji,” kata Kastumiun.
Panen dini itu selesai ketika matahari sudah lengser ke barat. Pembeli ikan sudah datang sejam lalu sambil membawa timbangan dan colt bak terbuka. Orang-orang bersicepat menimbang ikan-ikan dalam keranjang. Mereka harus sampai di gudang pabrik sebelum matahari tenggelam, kata pembeli ikan itu makin membuat Kastumiun dan kerabat yang membantunya tergesa-gesa.

Pembeli ikan mengulurkan kertas nota hasil panen dini kepada Kastumiun. Lelaki berpandangan sayu itu mencermati angka yang tertulis dalam kertas itu. Dia hanya menjawab sekadar saja ketika pembeli ikan berangkat mengangkut ikannya. Istrinya yang sudah mengemasi wadah makanan dan minuman kemudian memanggulnya di punggung bertanya lirih, “Dapat berapa, Pak?”

“Lumayan,” jawab Kastumiun kalem. “Cukup untuk beli pupuk urea sekali tanam lagi. Tentu saja kalau harga ikan kita tidak turun.”

Istri Kastumiun memandang suaminya yang berkulit coklat kehitaman karena terbakar matahari sepanjang hari. Dia kembali bertanya, “Benih ikannya dulu sudah dibayar?”

Kastumiun terbelalak memandang istrinya. Dia baru ingat kalau benih ikannya dulu belum dibayar dan masih hutang di pembenihan Haji Saman.
***

Siang itu Kastumiun berada di toko Hasri. Dia mendengar kabar kalau hari ini stok pupuk akan turun dan dia tidak mau ketinggalan lagi. Tiga hari lagi dia tidak mendapatkan pupuk, ikan-ikan di tambak satunya tidak mustahil akan menyusul untuk dipanen dini. Meskipun usia ikan di sana sudah waktunya panen, tetapi Kastumiun masih enggan untuk mengambilnya karena beratnya belum layak untuk diambil; lima atau enam tahun lalu Kastumiun dapat memanen ikannya tiga bulan sekali, tetapi saat ini mereka tidak bisa banyak berharap dengan waktu tiga bulan, sebab hingga berumur enam bulan pun ikan-ikan tidak bertambah besar, matanya saja yang kian lebar dengan ekor yang mekar tanpa ada perkembangan berat pada tubuhnya.

“Pak Kastum,” teriak Hasri pemilik toko sarana pertanian itu. “Sedang kaya baru panen?”
“Ya,” gurau Kastumiun sambil mendekat. “Katanya hari ini pupuk akan dikirim?”

“Katanya seperti itu, tetapi sampai sekarang belum juga datang. Pak Kastum sudah daftar?”
“Sudah. Sudah dua minggu lalu aku mendaftar minta jatah pupuk. Katanya, seminggu lalu ada yang turun, tetapi aku kok tidak dapat?”

“Memang jatahnya hanya sedikit, Pak. Tapi sebentar,” kata pemilik toko. Dia mengambil buku tulis tebal yang tersimpan dalam rak. “Hutang Pak Kastum di sini lima zak pupuk urea dan setinting waring. Nah, Pak Kastum kan sudah panen, bagaimana kalau dibayar dulu yang lima zak nanti baru mengambil lagi?”

“Hasil penjualan kemarin belum dibayar. Sartono dan Muji saja belum saya beri uang rokok.”
“Kalau Pak Kastum belum bayar, aku belum bisa mengasih pupuk lagi?”
“Berarti sudah ada pupuknya kalau begitu?”
“Belum datang!”

“Katanya kalau aku membayar akan diberi pupuk lagi, berarti sudah ada pupuknya?!”
“Pak Kastum sendiri tahu pupuknya belum datang,” kata pemilik toko Hasri dengan galak.

Kastumiun mengerutkan kening. Dia tidak bisa mengandalkan toko-toko lain, karena meskipun harganya murah tetapi harga di sana akan berlipat setiap bulannya. Dengan nada kalem Kastumiun bicara lagi, “Pembeli ikanku kan saudaramu sendiri. Kamu minta saja padanya?”

Pemilik toko yang berbadan tambun dan berperawakan tinggi itu berkata lirih, “Tidak mungkin, Pak Kastum. Meskipun kami berdua saudara, tetapi ini persoalan bisnis dan bukan masalah keluarga.”

“Apa kamu tidak percaya kalau aku pasti membayarnya?”
“Bukan percaya atau tidak, tetapi semua orang berhutang. Coba Pak Kastum hitung sendiri. Penduduk sini yang berhutang duapuluh orang. Masing-masing mempunyai hutang pupuk lima zak. Berarti saya menanggung seratus zak. Semua orang mengatakan akan membayar kalau sudah panen, tetapi panen mereka tidak ada yang memuaskan hasilnya. Katanya tiga bulan, tetapi panennya menjadi enam bulan dan bahkan ada yang setahun. Mereka yang rugi, tetapi mengapa saya juga harus rugi?”

“Kita juga tidak ingin rugi, Has,” kata Kastum berat.
“Rugi sih tidak apa-apa, tetapi jangan banyak-banyak seperti itu biar kita tidak bangkrut,” kata pemilik toko Hasri dengan nada enggan bicara lagi.
“Hari ini aku mendapat jatah pupuk atau tidak? Kalau tidak ikanku bisa mati lagi.”

“Pak Kastum masih lumayan hanya ikan yang mati, tetapi saya bisa ditinggal mati oleh anak dan istri.”

Kastumiun diam bukan karena memahami keadaan pemilik toko Hasri itu, tetapi keadaannya yang tersudut pada satu pilihan untuk mendatangi rumah pembeli ikannya. Dia bergegas memacu sepeda ontel-nya. Ada yang mengganjal di hati. Tidak biasa dia menagih hasil penjualan ikannya, sebab pembeli ikan itu akan datang sendiri ke rumah.

Lelaki itu tiba di tempat tujuannya beberapa menit saja. Ia bertanya pada anak kecil yang asik bermain di halaman rumah. “Bapakmu di rumah?”

Anak itu tidak menjawab. Dia meninggalkan semua mainan dan masuk ke dalam rumah. Tidak berapa lama kemudian anak itu kembali dan mengatakan kalau bapaknya sedang bepergian dan belum datang.
“Ibumu di rumah?”
Anak itu mengangguk.
“Coba panggilkan.”

Anak kecil itu pun kembali masuk ke dalam. Kemudian dia kembali lagi dan meneruskan permainan setelah menjawab disuruh menunggu. Seorang perempuan separuh baya keluar dan mempersilakan Kastumiun masuk dan duduk. Mereka berbasa-basi sebentar. Tuan rumah masuk ke dalam dan Kastumiun mencegah dengan alasan hanya sebentar.

“Saya hendak menanyakan uang hasil penjualan ikan kemarin,” kata Kastumiun dengan nada datar.

“Oh, persoalan itu,” jawab istri pembeli ikan dengan nada keras membuat Kastumiun berbunga, sebab perempuan itu pasti dititipi sesuatu. “Kata suami saya, sebagian diminta oleh Haji Saman pemilik benih. Katanya, Pak Kastum punya hutang benih di sana.”

“Ya,” jawab Kastumiun tersedak. “Berarti aku sudah tidak punya hutang ke Haji Saman?”
“Saya tidak tahu apakah sudah lunas belum.”
“Bagaimana dengan sisa hasil penjualannya?”

“Kata suami saya, baru separuh yang dibayarkan oleh pemilik gudang dan separuh lagi menunggu dia ke gudang lagi.”
“Kapan?”

“Saya tidak tahu.”
“Tapi, suamimu mengatakan berapa harga ikannya?”
“Yang jelas murah sekali, sebab ikan Pak Kastum dipanen dini.”
***

Hari ini hari kesepuluh sejak Kastumiun menebarkan pupuk urea ke tambak sebelah barat kali. Dia bisa membayangkan betapa keruh airnya dan lemah ikan-ikan bandengnya. Karena itu, sengaja dia tidak pergi ke tambak pagi-pagi. Kedatangannya tidak lebih untuk memastikan bahwa ikannya tidak mati dan dia bisa menunda hingga siang hari. Makanya dia cekatan memecahkan batang-batang kayu trembesi ketika istrinya mengeluh tidak punya kayu bakar lagi. Anak sulungnya sudah berangkat ke sawah mencari rumput bagi lima ekor kambingnya, sedangkan ketiga anak lain sudah berangkat ke sekolah.

Kapak besar itu mengayun berkali-kali dan memecahkan gelondong kayu. Keringat membasahi kaos Kastumiun. Dia hanya melengok sebentar ketika anak sulungnya sudah pulang dengan rumput di boncengan sepeda.

“Ikan kita mati lagi,” kata putra sulungnya menuju kandang di belakang rumah, “kambing kita juga.”***

november 2006
Sumber: http://sastra-indonesia.com/2009/01/mereka-tidak-harus-mati/

Jumat, 28 November 2008

MUHAMMAD DI TIMUR DAN BARAT

Haris del Hakim

Bagi orang muslim, Muhammad dengan agama Islam adalah nabi dan penyelamat di dunia dan akhirat. Karena itu, menodai citra Muhammad adalah menodai agama mereka. Terlepas dari itu, fenomena penodaan citra Muhammad ternyata bukan hal baru. Dunia Barat mengenal Muhammad jauh berbeda dengan Muhammad yang dikenal oleh dunia Timur. Contoh citra Muhammad ada dalam karya Dante, The Divine Comedy.

Muhammad, yang disebut sebagai “Maometto”, muncul dalam canto (bagian dari suatu syair) 28 inferno. Muhammad berada pada lapisan ke sembilan dari sepuluh lapisan Bolgias of Malebolge, gugusan parit kelam yang mengelilingi kubu setan di neraka. Sebelum lapisan ke sembilan yang dihuni oleh Muhammad, terlebih dahulu Dante menjelaskan lapisan sebelumnya yang dihuni oleh para pendosa dengan dosanya yang lebih ringan, seperti: tukang cabul, orang tamak, orang rakus, pembuat bidah, pembuat onar dan angkara murka, orang yang membunuh diri, dan orang kufur (penghina Tuhan). Lapisan setelah Muhammad dihuni oleh para pemalsu dan pengkhianat, di antaranya: Judas pengkhianat Yesus, Brutus dan Casius pengkhianat Yulius Caesar. Setelah itu sampailah pada lapisan dasar neraka di mana setan sendiri berada.

Jadi, Muhammad termasuk dalam hirarki kejahatan yang berat. Dante menyebutnya sebagai semonator di scandalo e di scisma (penyebar skandal dan perpecahan). Hukuman terhadap Muhammad, yang merupakan siksaan abadinya, adalah hukuman yang sangat menjijikkan. Tubuhnya terus-menerus dibelah menjadi dua mulai dari dagu hingga ke anus, bagaikan, kata Dante, tong kayu yang papan-papannya dirobek. Pada bagian ini Dante menguraikan detil-detil eskatologis yang tercakup dalam hukuman tersebut: isi perut dan najis Muhammad digambarkan secara jelas. Muhammad menerangkan kepada Dante mengenai hukuman yang menimpanya, sambil menunjuk kepada Ali, yang juga berada dalam barisan para pendosa yang disiksa dengan dibelah tubuhnya oleh malaikat penyiksa. Ia juga meminta kepada Dante untuk memperingatkan seorang bernama Fra Dolcino, pendeta murtad yang sektenya menganjurkan komunalitas wanita dan harta benda, akan siksaan yang menimpanya. Docino sendiri merupakan pemimpin sekte pada masa Dante yang sedang melonjak debut teologinya. (Edward W. Said, Orientalism).

Uniknya, karya Dante tersebut terinspirasi oleh Risalah al-Ghufran, karya al-Ma’ari. Al-Ma’ari yang muslim menggambarkan bagaimana tokoh, bernama Ghufran, masuk surga dan ingin bertemu dengan para penyair di sana. Dia meminta penjelasan tentang makna kata-kata absurd dalam puisi kepada penyairnya langsung. Karya tersebut juga mengilhami Muhammad Iqbal, penyair dan pendiri negara Pakistan, untuk menulis Javidnamah; setelah dia membaca karya Dante. Citra Muhammad dalam Javidnamah dapat mewakili pandangan dunia Timur tentang Muhammad.

Iqbal menjelaskan tokoh utama masuk ke orbit Jupiter dan bertemu dengan Hallaj, sufi yang dihukum mati karena ajarannya yang dianggap subversif. Tokoh menanyakan misteri-misteri Muhammad dan Hallaj menjawabnya secara filosofis dan idealis dalam bentuk puisi panjang: sebab ia itu manusia, sekaligus zat / /zatnya bukan Arab, bukan Persia / dia manusia, namun sebelum adam / “Hamba-Nya” penulis nasib / di dalam dirinya ada perbaikan keporak-porandaan / “Hamba-Nya” pemberi ruh, sekaligus pengambil ruh / “Hamba-Nya” kaca sekaligus batu keras / “Hamba” itu sesuatu, dan “Hamba-Nya” sesuatu yang lain lagi – / /kita semua menanti; dialah yang dinanti-nantikan / “Hamba-Nya”tak berawal, tak berakhir / “Hamba-Nya” – dimana baginya pagi dan petang? / Tak seorang pun tahu rahasia-rahasia “Hamba-Nya”— / “Hamba-Nya” tak lain adalah rahasia “kecuali Allah”

Citra Muhammad di Barat tidak lebih seorang psikopat yang mengilhami umatnya menjadi teroris di abad ini, terlepas dari berbagai persoalan sosial-budaya-ekonomi-politik yang lebih rumit. Lebih-lebih para pelaku kekerasan, yang disebut sebagai teroris itu, lebih sering menggunakan label agama Islam sebagai perisai pembelaan. Sehingga, lengkap citra Muhammad di dunia Barat seperti itu.

Tentu saja hal itu sangat berseberangan dengan citra Muhammad di dunia Timur. Dunia Timur memiliki argumentasi, “Kalau seorang psikopat mampu memberikan arah segar kepada jalannya sejarah manusia, ini merupakan satu hal yang sangat menarik minat psikologi untuk menyelidiki pengalamannya yang sebenarnya yang telah mengubah budak-budak menjadi pemimpin-pemimpin manusia dan yang telah mengilhami perilaku dan membentuk perjalanan hidup seluruh ras manusia. Menilai dari berbagai aktivitas yang memancar dari gerakan yang dilancarkan oleh nabi, ketegangan spiritual danperilaku yang muncul darinya tak dapat dipandang sebagai suatu tanggapan terhadap semata-mata fantasi di dalam otaknya. Tak mungkin untuk memahaminya kecuali sebagai tanggapan terhadap situasi obyektif yang melahirkan antusiasme-antusiasme baru, tatanan-tatanan baru, titik-titik tolak baru. Jika kita lihat masalahnya dari sudut pandang antropologi, tampaklah bahwa seorang psikopat merupakan faktor penting dalam ekonomi organisasi manusia.” (Muhammad Iqbal, Metafisika Persia).

Bagi dunia Timur dan kaum muslim khususnya, Muhammad merupakan harga diri. Dia adalah penggerak lahirnya kebesaran Islam yang menguasai dunia selama 700 tahun. Sejak Muhammad meninggal dunia pada tahun 632, kekuasaan secara militer yang disusul dengan kebudayaan dan keagamaan Islam berkembang sangat pesat. Pada mulanya Persia yang megah itu dapat ditaklukkan, Syria dan Mesir, lalu Turki kemudian Afrika Utara pun jatuh ke tangan orang muslim. Pada abad kedelapan dan sembilan Spanyol, Sisylia, dan negara bagian Prancis pun ditaklukkan. Abad ketiga belas dan keempat belas, Islam hampir berkuasa sampai ke India, Indonesia, dan China.

Pencitraan Muhammad sebagai orang gila, dukun, penyair, merupakan citra yang memiliki akar sejak zaman Jahiliyah pada zaman Nabi Muhammad sendiri. Ketika itu para pemuka Qurais, yang dipimpin oleh Abu Jahal, merasa kehilangan pengaruh hegemoninya atas dunia arab. Agama baru yang dibawa oleh Muhammad secara perlahan-lahan, namun pasti, menggerogoti kekuasaan mereka. Sebagai pertahanan kekuasaan atas perlawanan Muhammad dan pengikutnya yang sebagian besar dari kalangan budak, para penguasa Qurais berkolaborasi dengan ahli kitab yang haus kekuasaan memberikan karakter yang negatif terhadap Muhammad.

Sebagai tanggapan atas hal itu, kitab suci orang Islam menjelaskan karakter Abu Jahal atau Abu Lahab sebagai orang yang binasa kedua tangannya, yaitu sia-sia dan tidak berguna semua harta kekayaan dan perbuatannya (QS. al-Lahab: 111). Sedangkan bantahan terhadap ahli kitab, alih-alih memburuk-burukkan justru penjelasan yang proporsional mengenai sejarah agama mereka. Tokoh kunci, seperti Musa, Ibrahim, Israil, Dzulkifli (yang diasosiasikan dengan Sidharta Gautama), Isa, dikukuhkan sebagai nabi orang Islam. Apabila semua itu tidak juga memberikan pemahaman baru tentang Muhammad dan agama yang dibawanya, maka jalan kaluarnya adalah menunggu waktu siapa di antara mereka yang benar.

NGALOR-NGIDUL TENTANG KEBUDAYAAN1

(Bukan berarti kita tidak perlu mampir ke Barat atau Timur)
Haris del Hakim

Corak budaya satu warna yang bertaraf nasional yang mengiringi kekuasaan Orde Baru ternyata mempunyai imbas yang signifikan terhadap tradisi dan budaya yang bercorak kedaerahan. Kisah-kisah, kearifan, ataupun dongeng asal-usul suatu daerah menjadi tertepiskan oleh jargon-jargon yang mendukung pembangunan nasional, sebagaimana dicanangkan oleh masa pemerintahan Presiden Soeharto. Contoh paling gampang adalah pudarnya kekuatan baureksa sebagai penguasa di suatu daerah.

Kondisi tersebut mengakibatkan generasi yang lahir setelah itu “kehilangan” akar tradisi. Duapuluh tahun setelah berdirinya Orde Baru muncul fenomena generasi muda yang tidak memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal, sehingga sering terdengar istilah “malin kundang si anak hilang yang durhaka terhadap ibunda kampung halaman”. Gelombang reformasi yang turut menghembuskan otonomi daerah seakan menyentak kesadaran akan hilangnya nilai-nilai kedaerahan tersebut, tidak terkecuali di daerah Lamongan.

Kisah-kisah, warisan budaya, dan kearifan lokal, sebagai kekayaan dan sumber kebanggaan bagi generasi muda akan kedaerahannya menjadi niscaya untuk digali kembali. Kisah Panji Laras dan Panji Liris, misalnya, merupakan salah satu kekayaan daerah Lamongan yang perlahan mulai dilupakan atau tidak dipahami secara baik oleh generasi muda. Kisah yang melahirkan tradisi pinangan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki menyamarkan motif-motif dan tanpa disadari termasuk salah satu faktor pendukung patriarki secara kasar, tanpa pemahaman yang matang terhadap akar persoalan. Padahal, kisah tersebut merupakan tafsir masyarakat terhadap apa saja yang membuat kaum laki-laki lebih tinggi dari kaum perempuan.
***

Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta budhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata “budhi”, berarti budi atau akal. Artinya, kebudayaan dapat diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Sementara dalam bahasa asing dikenal dengan istilah culture yang artinya adalah kebudayaan. Kata tersebut berasal dari bahasa Latin “colere” yang berarti mengolah atau mengerjakan, lebih tepatnya mengolah tanah atau bertani dan dapat diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Soekanto, 1982: 166).

Terlepas dari definisi yang teoretis seperti di atas, kebudayaan adalah predikat-predikat atau “baju-baju” yang dipakai oleh masyarakat untuk mengungkapkan keberadaannya. Karena masyarakat cenderung majemuk dan beragam, maka tidak aneh apabila dalam suatu masyarakat timbul berbagai macam ekspresi budaya. Kebudayaan seorang anak sekolah tentu berbeda dengan mahasiswa, petani, pedagang, atau ibu rumah tangga. Lebih gampangnya begini, mengapa seringkali timbul persoalan antara adik-kakak-orang tua-dll, secara ringkas karena mereka berbeda secara budaya. Seorang anak sekolah senang dengan band, tampil di panggung-panggung, mimpi menjadi artis, tampil menarik dan menjadi bahan perhatian banyak orang, sementara kakaknya mungkin tidak lagi mempunyai perhatian di bidang seperti itu. Atau kalaupun masih perhatian tidak sebergejolak seorang remaja. Akibatnya, timbul konflik hanya karena masing-masing mempunyai bobot perhatian berbeda dalam satu bidang—saya tidak mengatakan sebagai tidak peduli, sebab semua orang pasti mempunyai rasa perhatian terhadap segala macam persoalan hanya berapa persen dia peduli dengan hal itu.

Cara berekspresi inilah yang kemudian menimbulkan pengkotak-kotakan tentang budaya Timur-Barat-Utara-Selatan tanpa ada garis batasan wilayah yang jelas. Sampai saat ini kita seringkali mendengar kekuatiran beberapa kalangan tentang budaya Barat dan masih mengagungkan budaya Timur. Di dalam benak kita sangat jelas terbentuk pandangan bahwa budaya Barat adalah budaya yang rusak atau meng-gebyah uyah semua yang berbau Barat adalah rusak, sedangkan budaya Timur adalah budaya yang adiluhung. Bahkan, ada beberapa kalangan yang mengharamkan semua hal yang bersifat Barat. Pikiran yang sederhana seperti itu membuat kita gagap menjawab persoalan apakah kemajuan teknologi bukan termasuk hasil kebudayaan orang-orang “Barat”? Di sisi lain kita juga gagap ketika ditanya apakah budaya Timur yang adiluhung itu? Jawaban yang muncul secara spontan serampangan adalah, “Pokoke Bukan Barat!”. Jawaban seperti itu belum tentu timbul dari pemahaman yang betul mengenai “Barat” itu seperti apa sehingga dapat menjlentrehkan “Bukan Barat”.**

Gugatan-gugatan seperti itu meminta kita mempertimbangkan penilaian-penilaian kita terhadap wilayah asal budaya yang terlanjur kita konsumsi. Sejarah kebudayaan dan peradaban Barat saat ini ternyata hasil dari sumbangsih peradaban Asia—kalau boleh disebut Islam adalah bagian dari Asia—yang diperoleh dari Yunani dan Rpmawi. Karena itu, menyikapi pengkotakan budaya Timur-Barat-Utara-Selatan tidak pelu ngotot-ngotot sebab bisa diselesaikan di warung kopi—di warung kopi kita menemukan teknologi hasil produksi kemajuan peradaban Barat, seperti HP, dan kita juga menemukan cangkul pak tani yang sedang istirahat setelah lelah bekerja di sawah.

Persoalan yang lebih penting sebenarnya adalah merenungkan dan berpikir apa yang ada di balik budaya Barat dan Timur atau Utara dan Selatan, sehingga kita dapat memberikan penilaian secara arif. Pada saat kita membeli HP, misalnya, kita tentu tidak menanyakan ini produk Barat atau Timur? Apalagi pertanyaan lain yang sangat penting, seperti: Apakah untungnya kita mempunyai HP dan apa kerugiannya? Berat mana antara untung dan ruginya? Dan pertanyaan paling mendasar adalah, apakah saya benar-benar membutuhkan alat komunikasi yang bernama HP atau sekadar karena teman-teman saya mempunyai HP, maka saya juga harus mempunya HP?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu baru lontaran-lontaran iseng yang memunculkan pembahasan lebih mendalam. Di antaranya, apakah kepentingan orang-orang menciptakan HP dan menjual sinyal yang memanfaatkan udara? Bukankah udara diciptakan untuk digunakan oleh seluruh makhluk secara umum dan tidak hanya untuk gelombang radio, sinyal hp, radar, dll. Benarkah kepentingan pembuatan teknologi murni untuk kepentingan manusia secara menyeluruh, tetapi mengapa hanya orang-orang yang berduit mempunyai alat-alat teknologi yang maju?

Saya mempunyai teman yang tidak mau disebut ketinggalan zaman, sebut saja namanya Polan. Polan berpendapat bahwa ukuran tidak ketinggalan zaman adalah apa saja yang dilakukan oleh teman-temannya, tentu saja termasuk saya. Kalau temannya membeli sepatu merk Adidas, maka dua hari kemudian dia pasti sudah memilikinya. Begitu pula dengan barang-barang lainnya. Kemudian, kami bersepakat untuk memiliki barang-barang yang berbeda merk dan jenisnya antara satu sama lain dan satu bulan kemudian kami ganti dengan merk dan jenis lain. Secara ekonomi Polan memang kaya dan dituruti segala kemauannya. Sehingga, apa yang kami miliki juga dimiliki oleh orang lain.

Pada suatu hari kami mengajak Polan ke tempat pariwisata. Polan sama sekali belum pernah ke tempat itu. Saat kami sedang asik-asiknya ngobrol, Polan kebelet untuk buang air kecil. Salah seorang teman kami mengatakan bahwa kencing di tempat ini berbeda dengan kencing di tempat lain dan harus sesuai dengan syarat-syaratnya. Kami semua pun berpendapat seperti itu. Polan minta kami untuk mengantarkannya dan memberi contoh, tetapi tak seorang pun yang mau karena tidak ada yang akan kencing dan kami memberikan jalan keluar agar dia menonton orang lain sebelum kencing. Polan sangat senang dan langsung berangkat. Sepuluh menit kemudian kami melihat Polan yang datang dengan lebam di pipi karena dipukul seorang preman.

Memang, sangat sulit untuk membedakan antara terbuka—di kalangan remaja dikenal dengan istilah “Gaul”, “Ngetrend”, “Gak Telmi”, “Pop”, dll—dengan tidak mempunyai identitas. Kalimat yang paling harus diperhatikan adalah bahwa manusia “menciptakan” kebudayaan dan kebudayaan “mempengaruhi” manusia. Seorang rocker dapat menciptakan kebudayaan rocker karena “rocker juga manusia” dan bukankah kita juga adalah manusia yang dapat menciptakan kebudayaan meskipun kita belum tentu rocker? So what gitu loh?
Ya, kita tidak bisa membiarkan sifat terbuka melindas identitas kita. Pertanyaannya kemudian, apa sih identitas kita?

Munculnya sebuah kebudayaan dari suatu kawasan tentu tidak lepas dari kepentingan-kepentingan masyarakat itu. Apakah kepentingan di balik kebudayaan masyarakat Eropa yang berpakaian terbuka? Apakah hal itu dipengaruhi oleh kondisi alam dan cuaca, stok kain yang terbatas, para pendahulu mereka yang suka telanjang, atau sebab-sebab lain? Apakah hal itu sama dengan kondisi kita sehingga harus memilih untuk berpakaian minim juga?

Pertanyaan-pertanyaan di atas akan mengajak kita berpikir tentang kondisi alam, faktor ekonomi, sejarah, dan kepentingan-kepentingan lain. Pengetahuan tentang semua itu setidaknya membuat seseorang tidak gagap memahami dan membaca suatu fenomena budaya, begitu pula ketika membaca karakter orang dari kawasan tertentu.
Sebagai penutup, kita masih sering mendengar bahwa nenek moyang kita dulu orang-orang sakti, tetapi mengapa penjajahan kolonial Belanda dapat bertahan sampai 350 tahun ditambah 3,5 tahun penjajahan Jepang? Siapakah sebenarnya yang menyebut nenek moyang kita sakti? Mengapa mereka menyebut nenek moyang kita sakti? Apakah kepentingan mereka menyebut nenek moyang kita sakti?

Begitulah, kita masih harus banyak bertanya kemudian mencari jawabannya, sebab banyak hal yang masih belum kita ketahui. Dan, Jurnal Kebudayaan “The Sandour” merupakan salah satu ikhtiar dari orang-orang Lamongan untuk mencari identitas budayanya, sebagai manusia yang tinggal di Lamongan secara khusus dan Indonesia secara umum, di tengah berbagai macam warna dan bentuk kebudayaan yang sedang berkelebat saat ini. Bacalah tulisan Raudal Ranjung Banua yang tidak menganggap sepenuhnya salah aksi teroris yang terlanjur disematkan untuk orang-orang Lamongan, bacalah tulisan Nurel Javissyarqi yang mengungkapkan bahwa filsuf dan sastrawan dunia dari India terpukau oleh negeri kita, bacalah tulisan Joko Sandur yang berbagi pengalamannya tentang tradisi Lamongan, bacalah cerpen AS Sumbawi yang namanya tidak asing di surat-surat kabar, dan masih banyak lagi penulis-penulis berkaliber nasional.
Ternyata, kita mempunyai budaya sendiri….

Rabu, 19 November 2008

TRAGEDI RAJA RAMSES II

Haris del Hakim

Raja Ramses II adalah salah satu penguasa Mesir paling populer pada tahun 3000 SM. Karakternya diabadikan dalam teks kitab suci agama Islam dengan menggunakan gelar Fir'aun.

Ramses digambarkan sebagai penguasa yang tiran dan despotik. Pada masa kekuasaannya terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap bayi-bayi laki-laki yang baru lahir. Ramses sama sekali tidak menghiraukan isak tangis orang tua mereka. Semua itu berdasarkan ramalan para dukun istana bahwa salah satu dari bayi itu bakal menjadi musuh yang menyebabkan kematiannya. Ramses tidak mau memiliki musuh. Jangankan musuh, oposisi saja dia tidak dapat menerimanya. Dia ingin menjadi penguasa tunggal tanpa sekutu. Dan pembunuhan bayi-bayi itu adalah cara pintas mematikan benih yang akan berkembang menjadi oposisi.

Pada masa Ramses ini perbudakan yang tidak manusiawi semakin merajalela. Rakyat disuruh bekerja keras membangun istana-istana yang megah dan makam-makam raksasa berupa piramid tanpa upah sepeser pun. Mereka disuruh bekerja keras untuk mengabdi kepada raja dan Negara tanpa tahu apa yang diberikan oleh raja dan Negara kepada mereka.

Dia menciptakan hegemoni budaya dan spiritual yang melanggengkan kekuasaannya. Dia menciptakan stigma yang sistematis yang didukung para cendekiawan dan agamawan, dalam kitab suci agama Islam disebut sebagai tukang sulap. Mereka ini mengedepankan pembangunan-pembangunan yang berhasil dibangun oleh Ramses. Dan yang lebih penting, segala tindakan Ramses disebut sebagai kebaikan yang berdasarkan pada pengetahuan logis dan ajaran-ajaran leluhur negeri Mesir. Sehingga, rakyat merasa senang dalam kekuasaannya atau tidak menolak kekuasaannya. Menurut Amien Rais, Fir'aun menjadi seorang penguasa tiran tidak sekadar karena kemauannya sendiri, tetapi juga didukung oleh penerimaan rakyat Mesir ketika itu (Amien Rais; 1999).

Pada puncak kesombongannya, Ramses mengangkat dirinya sendiri sebagai asas tunggal kebenaran. Bahkan, dia tidak segan-segan mendaku sebagai Tuhan. Dia memiliki kekuasaan dan dapat melakukan apa pun terhadap rakyat dan pembantu-pembantunya.

Karena itu, dia marah besar ketika Musa menyerukan adanya Tuhan selain dia. Musa, yang bagi Ramses adalah anak durhaka dan buronan yang pengecut, anak kecil yang air kencingnya mengotori jubah kebesarannya, bukan keturunan darah biru yang tahu etika-etika keluhuran, hanya anak pungut yang tidak jelas orang tuanya.

Akan tetapi, anak kemarin sore itu berubah menjadi musuh besar yang sangat berbahaya bagi kelangsungan kekuasaannya. Ramses pun mengatur rencana mengalahkan Musa secara politis dan mempermalukannya di depan rakyatnya.

Cara paling mudah adalah beradu kemahiran mempesona rakyat. Musa tidak memiliki lidah yang fasih dan lentur untuk bersilat lidah, sehingga rakyat akan mencemoohnya ketika mendengar bicaranya yang terbata-bata. Sementara Ramses memiliki puluhan tukang sulap yang fasih dan tekun mempelajari ajaran-ajaran kuno. Selain itu, mereka juga memiliki ilmu sulap yang tiada bandingan: tali-tali disulap menjadi ular-ular yang menakutkan.

Pada hari yang ditentukan, Musa dan tukang sulap Ramses bertemu untuk beradu ketangkasan. Rakyat Mesir telah berkumpul menyaksikan pertarungan siapakh sebenarnya wakil kebenaran. Musa menyuruh para tukang sulap beraksi yang segera disambut dengan lemparan tali-temali ke lapangan. Seketika itu semua orang melihat tali-tali berubah menjadi ular dan merambat ke mana-mana hingga membuat banyak penonton yang menjerit. Musa mendapat wahyu untuk melempar tongkatnya yang segera mengenai temali dan orang-orang pun sadar bahwa yang dilemparkan hanya tali dan bukan ular.

Peristiwa itu membuka mata hati banyak orang dan juga para tukang sulap. Mereka seakan sadar bahwa dukungan pada Ramses selama ini hanya semu dan pengabdiannya berdasarkan rasa takut atas kekejamannya. Seketika itu mereka berbalik arah mendukung Musa dan memusuhi Ramses. Akibatnya, mereka dihukum potong salib; dipotong tangan kiri dan kaki kanan atau tangan kanan dan kaki kiri.

Ramses benar-benar marah. Dia bertekad bulat menghancurkan Musa dan pengikutnya. Musa yang tahu rencana itu segera mengumpulkan pengikutnya dan meninggalkan Mesir. Ramses tidak tinggal diam. Dia mengerahkan segenap prajurit istana untuk mengejarnya.
Hingga di tepi Laut Merah tentara Ramses hampir mendapati Musa dan pengikutnya. Tetapi, mukjizat menyelamatkan Musa. Laut terbelah dan mereka menyeberang dengan selamat ke tepian. Setelah semua berhasil menyeberang, lautan kembali seperti sedia kala. Padahal, Ramses beserta tentaranya sedang di sana. Tak ayal lagi, mereka tenggelam di antara gelombang.

Seorang penguasa yang kejam dan mengaku sebagai Tuhan itu ternyata tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Bahkan, dia tidak tahu di mana akan meninggal. Dia telah membangun makam megah namun justru mati di lautan. Piramid-piramid yang dibangun dengan segala kekayaan itu tidak berguna sama sekali.

Ketika itu di antara tukang sulap yang lolos dari hukuman Ramses atau rakyat yang pernah ditindasnya merasa iba dan kasihan pada mantan penguasanya yang sedang gelagapan di antara gelombang dan meregang nyawa. Mereka minta Musa memohon agar Tuhan menyegerakan kematiannya, karena mereka sudah memaafkannya.

Akan tetapi, Tuhan tidak mengampuni kesalahan yang dilakukan Ramses. Manusia dapat memaafkan kesalahannya tetapi Tuhan belum dapat mengampuni orang yang berbuat lalim kepada makhluk-Nya. Meskipun, Ramses telah mengakui Tuhan Musa. Tetapi, sudah terlambat. Puluhan tahun Musa menyeru dia bukan Tuhan yang dapat berbuat semaunya dan sewenang-wenang, tapi dia justru merintangi dan menghalangi kebenaran yang dibawa Musa.

Kesalahan tetap kesalahan. Pemberian maaf untuk kesalahan yang tidak dapat dimaafkan berarti pendidikan bagi generasi yang akan datang untuk melakukan apa saja kemauan mereka tanpa menghiraukan orang lain, karena di saat sakaratul maut mereka akan dimaafkan.***

Jumat, 17 Oktober 2008

Masa Lalu Sebagai Kenang-Kenangan

Haris del Hakim

Berapa kali kaujenguk masa lalumu setiap hari?
Kenangan masa lalu selalu tampak indah dan senantiasa diingat dengan wajah berseri-seri, seakan alam semesta telah berubah menjadi alat musik yang hanya memainkan nada-nada bahagia. Meski perih dan luka tidak lepas dari satu kurun dalam kenangan itu, namun tak ubahnya nada improvisasi yang menambah merdu irama. Dan cerita tentang masa lalu lebih sering diiringi dengan tertawa dan bangga, apalagi bila terlibat di dalamnya sebagai pelaku.

Akan tetapi, saat sekarang yang sedang dialami dan dijalani menunjukkan bahwa dunia ini hanya hidup yang getir, pahit, dan luka yang tak kunjung sudah. Irama saat ini hanya lagu sendu yang sering menguras air mata, seakan tidak pernah mendapatkan satu tangga nada yang mampu membuat gembira. Semua peristiwa saat ini seakan tersedot dalam pusaran melelahkan dan membuat putus asa.

Sekali waktu muncul kesempatan menyenangkan dengan hadirnya rezeki, kabar gembira, atau kawan lama yang selama tahunan tidak bertemu, kemudian dalam keriangan tidak bosan berujar seakan Tuhan bersamanya. Akan tetapi, bila kesempatan sulit dan sesak menimpanya; ketika seorang juru tagih menagih piutang, penyakit yang datang tiba-tiba, atau sesuatu yang hilang, maka yang keluar dari bibir adalah keluhan-keluhan bahwa Tuhan telah meninggalkannya.

Sementara itu, impian-impian membumbung tinggi hingga lupa bahwa dia masih memijakkan kakinya di bumi. Seperti seorang pemimpi yang tidur sepanjang waktu kemudian bangun sekadar untuk menceritakan mimpinya kepada orang lain. Mimpi itu begitu dekat dan hampir menjelma kenyataan. Namun, begitu mimpi itu hanya igauan di siang hari dan bahan lelucon orang-orang yang pernah mendengar ceritanya, dia segera mengambil seutas tali dan mengikat lehernya di dahan pohon.

Begitulah yang terjadi ketika kau terperangah dengan kehidupan yang begitu pendek dan menganggapnya sebagai akhir dari segalanya. Ungkapan ini begitu mudah kaunyatakan, sebagaimana mudahnya kautemukan iring-iringan orang yang mengantar usungan keranda menuju pemakaman. Berjalanlah menyusuri tempat-tempat yang belum kaujamah dan jangan terpukau mendapati pengiring jenazah, sebab ketika kau terpukau pertanda kau sedang lalai bahwa dunia ini pasti berakhir. Pada saat itu kaulihat iringan pengantar jenazah yang sama sekali tidak kaukenali, tapi kau tak tahu bila kapan iringan itu mengantarkan jenazah tetanggamu atau keluargamu atau bahkan dirimu sendiri.

Oleh karena itu, akrabilah kematian agar dapat kautuntaskan semua ketakpastian dan selamat dari kegalauan. Peristiwa dan perasaan barangkali telah membantingmu ke sana ke mari agar kau mengaduh dan mengeluh sekeras-kerasnya, namun akrabmu dengan kematian akan mengajarimu untuk menjalaninya dengan tegar dan tersenyum. Bukankah semua itu hanya sesaat dan sebentar kemudian segalanya akan berlalu? Nafas boleh panjang namun dia pasti berujung pada maut.

Hati-hatilah mencerna kata-kata tersebut, sebab kesalahan memahaminya dapat membuatmu terjebak pada lembah ketidakpedulian dan keacuhan.
Sabda Suci, “Sesungguhnya kehidupan dunia ini tidak lebih sebuah pentas permainan dan kelalaian.” Kalimat itu menyindirmu karena serius menghadapi saat-saat sekarang dan melupakan kehidupan hakiki yang lebih panjang tanpa ujung. Kau keliru bila membayangkan saat sekarang hanya untuk sekarang, sebab sekarang adalah mempersiapkan tanaman yang dapat dipetik di kelak kemudian hari; saat ini kau mesti menyiapkan lahan keluasan iman, memilih benih yang bermanfaat, menanam dengan ikhlas di musim yang tepat, menyiangi gulma kemusyrikan, memelihara dari gangguan kekufuran dan kemunafikan, dan berdoa dengan harapan dan kekuatiran.

Pandangan jauh ke depan yang melahirkan kesadaran tentang awal dan akhir mengajarkan kesenangan dan anggapan kenikmatan hanya berlaku dalam sepenggal waktu; mengapa kaucuci tangan bersih-bersih dari kesusahan yang menyertainya? Belajarlah menikmati hidup abadi agar tidak goyah dalam kurun waktu sementara.

Kehidupan sekitar hanya cermin hati. Prasangka buruk di dalam benak seperti seorang dirigen yang memimpin semesta untuk berteriak, “Ya, kami buruk sekali. Lihatlah, wajah kami penuh bopeng bukan?” Kalau dalam prasangka dunia ini tampak indah, maka gerakan tanganmu pun lincah untuk membimbing semesta bersorak, “Oh, kami sangat indah. Sayang kau tidak pernah memperhatikan.”
Karena itu, dusta besar bila menganggap semesta ini munafik. Katakan, dirimu yang munafik hingga tidak sanggup memahami yang sebenarnya.

Sang Nabi pernah bersabda, “Aku heran dengan orang mukmin. Ia tidak pernah bersedih. Ia memandang kehidupan dunia ini dipenuhi keindahan semata.” Ketika seorang mukmin dicaci maka dia berkata, “Alhamdulillah, dosaku berkurang satu.” Di saat mengalami kemiskinan dia berkata, “Alhamdulillah, aku diberi kesempatan untuk beribadah dan tidak perlu repot bertanggung jawab mengurusi tetek bengek harta yang belum tentu bermanfaat di akhirat nanti.” Ketika kaya dia berujar, “Alhamdullah, aku diberi kelapangan oleh Tuhan untuk menunaikan hak mereka yang terampas.”

Takarlah semua yang menimpamu dengan takaran seimbang, agar perasaan kecewa tak menyergapmu. Kau hanya setitik makhluk kecil di antara tatanan semesta dan kau tidak pernah tahu apa yang terbaik untuk dirimu sendiri; apakah kau masih berpikir mampu berbuat yang terbaik untuk alam semesta ini? Apa yang kaukira kebaikan bisa saja keburukan yang suatu saat akan meletus dan apa yang kausangka keburukan ternyata kebaikan yang menyelamatkanmu.

Jenguklah masa lalumu sekadar saja di saat yang tepat agar kau tidak terseret oleh siksaan yang tidak kausangka-sangka. Sebagaimana yang dialami oleh istri Lut. Pada malam-malam buta orang-orang beriman diajak hijrah oleh Lut, sebab negeri mereka sebentar lagi dihujani batu-batu api dan dibalik tanahnya. Lut merasa sayang dengan istrinya yang sering berpihak pada kekufuran dan mengajaknya ikut hijrah. Seperti yang dipesankan oleh Tuhan melalui malaikat, dia pun berpesan kepada istrinya bila melakukan perjalanan jangan sekali-kali menoleh ke belakang, meskipun rasa ingin tahu begitu kuat untuk melihat apa yang terjadi. Begitu pula yang disampaikannya kepada orang-orang beriman. Dan pada malam itu janji siksa Tuhan benar-benar datang. Lut beserta istri dan orang-orang mukmin telah meninggalkan negerinya. Malam itu bintang-bintang api jatuh. Suara berdebum-debum diiringi teriakan kesakitan dan mengerikan. Jeritan dan tangis penyesalan sudah tidak berarti lagi. Lut menggigit bibir merasa kasihan pada kaumnya yang tidak mempercayainya. Sedangkan istrinya lupa dengan pesan suaminya. Dia menoleh ke belakang dan melihat siksaan yang didustakan benar-benar datang. Dia tertegun dan tertinggal jauh di belakang hingga tanah yang dipijaknya pun ikut terbalik atau sebongkah batu panas menimpuknya?! Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban dan bantahan.
Maha suci Tuhan yang menciptakan lupa.
***

Maulana Jalaludin Rumi mendendangkan wejangan dalam Matsnawi tentang seseorang yang gemar menaburkan deduri di tengah jalan.
Kata-kata itu ditujukan bagi orang bebal yang senang dengan makhluk. Dia mempunyai kebiasaan menanam duri di tengah jalan. Orang-orang yang telah melewati jalan itu mencaci makinya dan banyak pula yang menyuruh untuk mencabut duri-duri itu, tetapi ia tidak juga melakukan. Duri-duri yang ditanam itu semakin hari semakin tumbuh, bahkan telapak kaki manusia dapat mengucurkan darah karena tergores. Duri-duri itu pula yang merobek pakaian makhluk; sedangkan telapak kaki para darwisy; alangkah kuatnya menanggung rasa sakit. Seorang bijak memanggilnya dan berkata, “Cabutlah duri yang kautanam di tengah jalan itu!” Namun, ia menjawab, “Ya, aku akan mencabutnya pada suatu hari nanti.”

Hari-hari telah berlalu. Sementara itu ia akan mencabut duri-duri itu besok sehingga batang duri pun tumbuh menjadi semakin besar.
Orang bijak berkata lagi padanya, “Wahai yang memungkiri janjinya sendiri, segera lakukan apa yang kuperintahkan. Jangan biarkan duri-duri itu melukai dirimu kembali.”
Ia mengatakan, “Hari-hari itu tengah kita jalani, paman!”
Orang bijak melanjutkan bicaranya yang sempat disela tadi, “Segera lakukan! Jangan hanyak berangan-angan untuk menunaikan agama kita.”

Wahai, kalian yang suka mengutip kata “besok”, ketahuilah bahwa hari dan zaman pasti berlalu. Pohon duri yang buruk rupa ini akan tumbuh semakin kuat dan ulet; dan hanya seorang syaikh yang kuat sanggup mencabutnya. Pohon duri itu pun semakin kuat dan tinggi, sementara yang akan mencabutnya pun bertambah renta dan ringkih. Pohon duri, setiap hari dan setiap saat, makin menghijau dan elok dipandang mata. Adapun mencerabut duri makin bertambah susah dan berat. Ia semakin dewasa sementara dirimu semakin tua, maka segeralah, dan jangan menyia-siakan waktumu.

Ketahuilah, semua perilaku buruk dalam dirimu merupakan pohon duri, sementara kalian mendapatkan tusukan duri-duri di telapak kakimu itu adalah persoalan lain. Betapa banyak yang terluka karena perilakumu: kau benar-benar tidak mempunyai perasaan, bahkan sebenarnya dirimu tujuan dari peniadaan. Apabila dirimu menghadapi orang lain yang terluka karenamu—yang menjauhimu karena perilakumu yang buruk—kadangkala kau lupakan perbuatanmu; bahkan, kau lalai dari luka yang terjadi pada dirimu sendiri? Kau adalah azab bagi dirimu sendiri dan semua orang selainmu.

Ambil kapak dan tebang pohon duri itu, seperti yang dilakukan orang-orang gagah. Cabutlah dengan segenap kekuatanmu, seperti yang dilakukan Ali ketika mencabut pintu Khaibar.
Kalau saja kau tidak mampu, maka jadikan duri sebagai sahabat bunga mawar dan jadikan api sebagai sahabat cahaya kekasih. Hingga cahayanya pun menaungi api yang ada pada dirimu dan menjadikan sarana duri-durimu sebagai taman mawar. Kau seumpama api neraka Jahim adapun mursyidmu adalah orang mukmin; hanya seorang mukmin yang mampu membekukan api.

Apa saja yang kau tanam pasti akan berbuah dan sekaligus mengundang kehadiran burung prenjak, burung gagak, atau merpati bagimu. Kita telah kembali untuk memotong jalan lurus dengan benda; kita harus kembali, tuan. Di manakah jalan kami?
Kami telah menjelaskan kepadamu, wahai pendengki. Keledaimu telah lepas sementara rumahmu masih jauh, maka segera berangkat! Tahun telah kehilangan separuh hari-harinya dan sekarang bukan lagi musim tanam, sehingga hari-hari tersisa ini hanya berisi muka hitam dan perbuatan buruk. Seekor ulat telah mengeram di akar pohon jasad, maka suatu keharusan untuk mencabut dan melemparkannya ke neraka.

Jasad yang mati tak lebih gumpalan adonan roti—ketika bersahabat dengan ruh—menjadi hidup, bahkan menjadi mata kehidupan. Kayu bakar yang hitam ketika bersahabat dengan api—akan melenyapkan warna hitamnya dan menyulapnya—menjadi cercah-cercah cahaya. Bangkai keledai—ketika jatuh di gugusan bintang yang terang—akan terselungsungi dari kekeledaian dan terhalalkan jasadnya. Sibghatallah menjadi bejana warna wahdaniyah. Berbagai warna di dalamnya menjadi warna tunggal. Apabila ada seseorang berada di dalam bejana itu dan kau katakan, “berdirilah”, maka ia akan menjawabmu dengan suara genderang, “aku adalah wadah maka jangan mencaciku.” Ungkapannya “aku adalah wadah” merupakan esensi pernyataan “aku adalah Kebenaran”. Apakah selain besi dapat mengambil warna api untuk dirinya? Warna besi terhapus dalam warna api. Besi seakan-akan dalam kebisuan menampakkan kesenangan dengan sifat api. Saat ia telah menjadi—dalam warna bara merah—seumpama emas berpijar, maka ia merasa bahagia seraya menyatakan tanpa lisan, “akulah api!”

Aku adalah api.
Kalau kau ragu maka ulurkan tanganmu ke tubuhku.
Aku adalah api.
Kalau kau sama denganku maka tempelkan wajahmu pada wajahku.
Seorang manusia ketika meminjam cahaya dari Allah menjadi sandaran; para malaikat sujud kepadanya karena Allah telah mengijabahinya. Begitu pula ia menjadi sandaran bersujud manusia; ketika ia telah memurnikan ruhnya dari keraguan dan tirani, seperti malaikat.

Apakah api?
Apakah besi?
Tutup kedua bibirmu dan jangan banggakan jenggot karena mirip dengan kaum berjenggot. Jangan langkahkan kaki ke laut dan kurangi bicaramu tentang laut. Berdirilah di pantai dalam keadaan diam demi menjaga kedua bibirmu dari kebingungan.
Hati adalah telaga yang terhijab, karena itu ia memiliki cara rahasia menuju laut. Penyucianmu yang terbatas membutuhkan kurun waktu; jika tidak, maka hitungan akan bertentangan dengan sedekah.

Surabaya, 25 Ramadhan

Selasa, 05 Agustus 2008

Puisi-Puisi Haris del Hakim

LELAKI DENGAN LUKA DI DADA KIRI

lelaki dengan luka di dada kiri memetik rembulan dan memerahnya; jadilah sebersit cahaya membentang antara langit dan bumi kemudian dititinya setapak demi setapak hingga seribu tahun perjalanan

di sana seribu matahari bergelantung di dahan rindu dan melambaikan tangan kemudian menuntun jemari keriput untuk memetiknya dan ditapis di secangkir cahaya; jadilah samudera

di sana gelombang-gelombang menghantam karang dan membersihkan lumut; jadilah kerang yang mengerat bulir pasir dan memuntahkannya: berkilau-kilau sebelum tersentuh cahaya

di sana butir-butir mutiara menetes setelah ditiupkan padanya mantra-mantra purba; lelaki dengan luka di dada kiri tidur terlentang menunggu butir-butir itu jatuh di dadanya dan berdoa agar degup jantungnya berdetak seiring detik jam yang menggantung di gerbang keheningan

lelaki dengan luka di dada kiri menemukan dirinya kehilangan kata-kata dan degup jantungnya; rembulan, matahari, samudera, kerang, dan mutiara: bisu

Lamongan, 13/04/07



SAPI KITA DALAM JERAT LABA-LABA

seekor sapi – dari tujuh yang kita punya – terperangkap sarang laba-laba. dia menjejak-jejak senar-senar rapuh itu sambil memamah angin. kemudian seekor singa penyihir melemparkan buhul-buhul, seperti penyihir fir’aun. sapi itu menggeleng-gelengkan kepala seraya melafalkan nama samiri. buhul-buhul bersekutu dengan jaring laba-laba untuk menjeratnya semakin kuat.

laba-laba memanggil teman-temannya dan kentut bersama-sama di depan hidung sapi kita itu. kita menyumbat hidung dan mencerca penggembala yang belum kembali dari buang hajat.

Lamongan, 2 mei 2008



AKU DAN PEREMPUAN YANG TIDAK KUKENAL

kami duduk menunggu bus lewat. “ini adam,” kataku memperkenalkan diri. dia menimpali, “ini hawa.” lalu adam dan hawa saling kunci dalam kamar surga. mereka bicara melalui lubang kunci dengan kata-kata membosankan. bersamaan dengan itu, lahirlah setan dari mani onani iblis.

“apa yang dibayangkan oleh iblis ketika itu?” tanyaku padanya. kemudian dia menjawab sambil bercekikik, “cover majalah porno.” dan aku membantah, “tidak. tuhan masih belum sempat bikin majalah, apalagi yang porno.” dia lanjutkan percakapan, “jangan panjang-panjang bicara.” aku bertanya, “mengapa?”

bus yang ditunggu perempuan itu datang. dia berkata lirih,”nah!” seraya membuka pintu dan naik tangga besi itu. aku lupa menanyakan apakah hawa dulu telanjang ketika setan lahir?

Lamongan, 22 april 2008



SEBUAH KISAH TENTANG MIMPI

mimpi yang biasa mengepulkan asap rokok di atas pematang telah kedinginan, bahkan membeku, dan api di ujung batang rokoknya pun mati. ia tidak bisa berkisah tentang tanah, air, bulir padi, ikan, dan penghidupan.

mimpi berkali-kali mencoba membunuh diri dengan merendam tubuh dalam lumpur, tetapi udara masih kerasan di tubuhnya. berkali-kali pula ia mencuri kain kafan mayat yang meninggal hari kamis legi, namun ia selalu kalah dengan serangga-serangga tanah.

pada suatu malam penduduk menyaksikan mimpi memungut api dari rumah mereka kemudian berteriak-teriak seperti mengigau, “pagi masih jauh, musim kerap memungkiri janji, kata-kata selalu berdusta, pilihan menjadi takdir terburuk, sementara kutukan hanya makanan untuk anak-anak, dan penderitaan seperti kepastian yang tak terelakkan.”

akhirnya, mimpi pulang ke pematang dan bernaung di bawah sebatang pohon jati tua. ia memetik pupus daunnya dan ditorehkan di atas…

tepat di atas pematang: lamongan, 20/06/08



TIGA EKOR RAYAP DAN BURUNG PELATUK

seekor rayap berkepala kecil berkata pada pelatuk yang hampir saja mencucuk tubuhnya, “aih! selalu kau pura-pura tidak tahu adaku.”

burung pelatuk berhenti sebentar kemudian mematuk di tempat lain. seekor rayap berkaki ganjil muncul di balik kulit yang dikelupasnya dan berseru, “apakah kau pura-pura tidak tahu adaku lagi?!”

burung pelatuk tertegun sejenak lantas mematuk di bagian lain. seekor rayap yang kehilangan dua kaki depan menyembulkan kepalanya di balik serat kayu yang terkelupas dan berteriak, “tidak adakah pohon lain lagi?!”

burung pelatuk mengangkat kepalanya lalu secepat kilat mematuk ketiga rayap satu per satu. “aku masih belum kenyang,” bisiknya seraya mematuk lagi.

surabaya-lamongan, 26/06/05



UNDANGAN SEORANG BAPAK
YANG ANAKNYA SEDANG ULANG TAHUN
: bersama pavel

aku sudah tidak tahan mendengar pengaduan anakku untuk mengadakan pesta selamat tinggal bagi masa kanak-kanaknya. berbekal hutang ke sana kemari dan menggadaikan sisa barang yang berharga, akhirnya tersedia kue kukus di atas meja.

sebentar lagi lilin-lilin dinyalakan dan lagu-lagu ulang tahun disorakkan.

aku duduk di kursi memandang jarum jam bergerak. kupanggil istriku agar memasak nasi jagung, sayur asam, dan menggoreng ikan asin. “jangan lupa sambalnya,” teriakku.

setelah semua masakan terhidang di atas meja, aku segera mengundang tetangga, kenalan, dan siapa saja yang kuingat namanya, tidak lupa tuhan – tentu saja kukatakan menu makanan kami agar dia tidak kecewa. tetapi, tidak ada yang datang selain tuhan yang maha sibuk. akhirnya, kami makan sambil menonton anak-anak berpesta.

tanjung kodok, awal juli 2005



DOA KAWANAN ANJING

tuhan,
ke mana para pelacur yang menyingkapkan betis, melepas sepatu high heel, memeras payudara, dan memberikan susu kepada anjing-anjing yang kelaparan.

15/07/05



PENGAKUAN

tuhan, banyak dosa yang kulakukan. tolong berikan kartu namamu
biar kukunjungi rumahmu. jangan lupa sambut aku dengan senyum
agar aku tak ragu-ragu bertamu

lamongan, 4 September 2005



LAUT PADA SEBUAH SENJA
: buat calon istriku

burung-burung culuk belum pulang memandu para nelayan, sementara matahari melukis langit dengan lembayung. ketika itu siur angin membawa debu-debu
menimbuni kastil pasir dan membangun gugusan pulau tanpa nama

di kejauhan nahkoda-nahkoda kapal membunyikan peluit panjang dan mengusir anak-anak ikan yang bermain di debur ombak. di atas karang-karang pilihan pernah aku kehilangan ikan kering kemudian dengan sampan kecil kusisir
debu, pasir, gelombang; amboi, ikan kering memandu ribuan paus berebutan menelanku sesampanku.

lamongan, menjelang peminanganku pada 9 maret 06

Selasa, 24 Juni 2008

ANAK-ANAK LUMPUR

Haris Del Hakim

Kami hampir seperti anak-anak lain yang tinggal di kawasan pedesaan. Lumpur bagi kami adalah sahabat paling menyenangkan.

Pada saat kami melihat kubangan air di tanah kering, bekas orang-orang memandikan sapi atau sepeda, kami berebutan untuk mendahului sampai di tempat itu. Yang pertama kali sampai akan mengangkangkan kaki sebagai bukti bahwa dialah penguasa kubangan berlumpur itu dan yang lain akan berebut untuk menggantikan kedudukannya. Kami saling dorong. Jatuh secara bergantian. Teman yang curang tidak mau berdiri setelah jatuh. Dia duduk di kubangan dan melempar-lemparkan lumpur ke arah yang lain, sehingga tidak ada seorang pun yang berpakaian bersih lagi.

Akan tetapi, permainan itu tidak semenyenangkan bila dibandingkan membuat kubangan sendiri. Memperebutkan kubangan menjadikan kami saling bermusuhan satu sama lain, bahkan permusuhan itu berlarut-larut hingga berbulan-bulan dan kami harus kehilangan dua teman akrab gara-gara berebut kubangan. Sementara itu, membuat kubangan sendiri menjadikan kami saling bahu membahu untuk mempertahankan agar kubangan terus berisi air yang bercampur tanah dan berubah menjadi lumpur.

Mula-mula kami membuat garis pembatas berbentuk lingkaran. Salah seorang mengambil air untuk membasahi tanah yang kami rencanakan sebagai kubangan dan yang lain berebutan menginjak-injak tanah basah itu agar segera menjadi lumpur. Kaki kecil kami beradu cepat menjejak tanah, tangan kami saling memegang pundak teman yang lain agar tidak jatuh, dan bibir kami tidak pernah lepas dari sunggingan senyum bahagia. Senyuman kami berubah menjadi sorak kegirangan bila merasakan grojokan air di kaki kami dan kami pun mempercepat gerak kaki. Begitu terus menerus hingga tanah yang semula kering itu pun berubah jadi lumpur.

Kemudian salah seorang dari kami memberikan aba-aba untuk membuat tanggul kecil di sekitar kubangan. Kami segera menghentikan pekerjaan menjejak tanah dan bahu-membahu membuat tanggul kecil. Kubangan yang kami buat ukurannya sangat luas sehingga tidak sebentar membuat tanggul kecil. Hanya anak yang mengambil air tidak mau membantu kami. Dia terus menggerojokkan air ke dalam kubangan. Setiap kali menumpahkan airnya, setiap kali itu pula kami lihat genangan air mengatasi tanggul kecil kami. Kami yang membuat tanggul berulangkali menyuruhnya menghentikan pekerjaan itu. Kata-kata kami sangat keras, namun sambil tertawa. Dia pun tidak berhenti dan semakin bersemangat memenuhi kubangan lumpur itu dengan air.

Memang, kami sama sekali tidak bermaksud menyuruh teman kami itu menghentikan pekerjaannya, tetapi kami dongkol melihat hasil pekerjaan kami kurang sempurna dan dapat dirusak oleh dorongan lumpur. Barangkali tidak seperti itu, tetapi kami menikmati bagaimana air lumpur dalam kubangan itu menggeripisi puncak tanggul kecil kami. Karena, kami kadang menggunakan gundukan pasir kering untuk membuat tanggul dan kami memandangnya dengan terpukau melihat pasir kering berwarna coklat terang itu perlahan-lahan basah dan berubah menjadi coklat tua kemudian benar-benar hitam. Keterpukauan itu bercampur kesenangan ketika tanggul kecil kami bocor dan terlihat air menerobosnya keluar, kemudian kami dibuat sibuk untuk mencari jalan keluar bagaimana caranya agar air tidak banyak keluar dan kubangan kami masih penuh dengan air.

Sungguh sangat menyenangkan membuat kubangan dan bermain dengan lumpur, apalagi di musim hujan. Teman yang biasa menggerojokkan air ke dalam kubangan akan pensiun dan bergabung bersama membuat tanggul kecil. Hujan membantu kami menciptakan kubangan berisi air dan kami tinggal menjadikannya berisi lumpur dan membuat tanggul kecil tambahan di sekelilingnya. Kami bersekutu untuk bermain dengan alam. Air hujan yang memenuhi kubangan dan rerintiknya yang merapuhkan tanggul kecil kami, seperti tantangan menggairahkan dan memacu kami untuk terus memperkuat danmenguatkan tanggul kecil kami; setelah dewasa kami tahu pekerjaan itu sia-sia karena alam terlalu besar bagi kami yang masih kanak-kanak.

Kami lanjutkan permainan itu dengan sepak bola setelah bosan bermain dengan lumpur dalam kubangan. Sekali lagi, sangat menyenangkan bermain dengan lumpur. Pakaian kami sudah dibasahi lumpur semua, tetapi terasa geli melihat teman yang marah-marah karena dia menggiring bola kemudian dijungkurkan ke lumpur. Dia akan mencipratkan lumpur ke musuhnya dengan cara menendang lumpur, kemudian sepak bola terhenti sebentar sebab kedua kelompok membantu temannya.

Kadangkala kami membuat kubangan lumpur di sawah. Karena itu, tidak jarang kami mendengar caci maki pemilik sawah. Dan, kami adalah anak-anak lumpur yang merasa senang bila dimarah-marahi. Kami menjawab amarah itu dengan tertawa terbahak-bahak secara bersamaan dan lari menjauh ketika pemilik sawah itu semakin marah karena merasa kami permainkan. Kadangkala kami tidak lari, tetapi meninggalkan tempat secara perlahan-lahan sambil mengatakan bahwa yang memulai perbuatan itu dan harus bertanggungjawab adalah si anu dan si anu. Semua saling tuduh dan tidak ada satu nama yang muncul sebagai tertuduh yang sebenarnya. Akibatnya, pemilik sawah tidak menemukan siapa yang harus dihukum karena kami mengaku paling benar. Untunglah dia tidak mengerti kalau kami semua sebenarnya bersalah dan tidak mau bertanggungjawab saja. Kami pun pergi meninggalkan pemilik sawah itu terbengong-bengong tanpa bisa berbuat apa-apa.

Peristiwa tidak terlupakan adalah ketika kami membuat kubangan di dekat liang semut merah. Seperti biasa, salah seorang mencari air dan kami mulai bekerja menjejakkan kaki di tanah. Kami tidak tahu bila dalam lingkaran yang kami gariskan terdapat lubang semut. Seekor dan dua ekor semut keluar dan menggigit, namun segera kami pencet dan mati.
“Ada lubang semut dalam kubangan, mungkin?!” dugaan salah seorang dari kami setelah berkali-kali kami membunuhi semut-semut kecil itu.

“Tidak ada!” jawab yang lain sekenanya.
“Kamu sudah memeriksanya?” tanya teman yang menduga tadi.
“Sudah!”

Tentu saja kami tidak membenarkan atau menyalahkan salah satu dari mereka. Perdebatan tentang ada dan tiadanya lubang semut hanya memicu perdebatan yang tidak berakhir. Kenyataannya, kami harus berkali-kali menepuk atau menggaruk bagian tubuh yang sakit dan gatal kemudian terlihat bintik-bintik merah. Tetapi, semua itu tidak mengganggu kesenangan kami.

Kubangan dan tanggul kecil sudah selesai. Kami tidak menambahkan air ke dalamnya atau membuat lumpur lagi. Kami mengatur badan untuk menyaksikan semut-semut kecil itu berusaha menyelamatkan diri dari genangan air. Kaki kecil mereka mengayuh sia-sia di atas lumpur untuk mencari daratan yang dapat dipijak dan memberikan kesempatan usia lebih panjang bagi mereka. Salah seorang dari kami memusarkan air dalam kubangan dan puluhan semut timbul-tenggelam. Barangkali mereka menjerit-jerit minta tolong dan kami tidak menghiraukannya, sebab perhatian kami tercurah pada bagaimana agar tanggul kecil kubangan itu tidak bocor. Kami menambah ketinggian dan ketebalan tanggul kecil. Lumpur dalam kubangan berpusaran lagi, seperti mengeluarkan gumpalan hitam keruh bercampur bintik-bintik merah kecoklatan tubuh semut-semut; kami percaya kalau semut tidak mempunyai darah dan kami adalah anak-anak yang tidak perlu alasan panjang lebar untuk percaya terhadap sesuatu, bahkan bila perlu kami menutup telinga dari pendapat orang lain agar kepercayaan kami tidak goyah.

Kami lupa bagaimana mengakhiri peristiwa itu. Di kemudian hari kami mengenangnya dengan tertawa dan senang. Kami mengulang kejadian-kejadian lucu paling rinci dan terlupakan yang membuat kami semakin terpingkal-pingkal.

Tiba-tiba kami berhenti tertawa ketika salah seorang dari kami mengatakan, “Bagaimana bila semut-semut itu bersatu dan hanya mengeroyok salah seorang di antara kita?”

“Siapa yang dikeroyok?”
“Siapa saja. Karena, kita semua bersalah.”
Kami tidak perlu merisaukan siapa yang harus dikeroyok oleh semut-semut itu. Pertanyaan tentang siapa sejak dulu tidak perlu kami jawab, sebab kami adalah anak-anak yang takut dan tidak mau bertanggungjawab. Kami cukup saling tuduh dan hal itu pasti akan selesai dengan sendirinya tanpa menyeleseikan persoalan. Salah seorang dari kami mulai bercerita tentang anak-anak lumpur seperti kami yang salah seorang dari mereka dikeroyok oleh kawanan semut. Dan benar, cerita itu menghentikan perdebatan tentang siapa tertuduh bersalah di antara kami.

Salah seorang dari anak-anak lumpur itu dikeroyok oleh semut-semut yang sengaja mereka siram dengan lumpur bercampur minyak tanah. Tubuhnya bengkak dengan bentol-bentol merah. Bahkan, berdarah-darah sebab jumlah semut itu ratusan hingga ribuan. Teman-temannya yang lain mungkin membantunya, tapi mereka tentu tidak sanggup menelisik sekujur tubuhnya untuk mencari semut yang sembunyi. Setidaknya, mereka tentu kewalahan menghadapi kawanan semut itu. Dia tidak dapat ditolong lagi dan harus dibawa ke dokter. Orang tuanya marah besar mendapati anaknya seorang yang harus mengalami akibat dari perbuatan teman-temannya. Teman-temannya yang lain pun menjadi sasaran dampratannya. Hal itu masih beruntung, karena nasib teman mereka yang dikeroyok semut itu lebih parah. Penderitaannya tidak sekadar sampai di rumah sakit. Ada dua puluh ekor lebih semut masuk ke telinganya dan menggigit bagian dalamnya. Dia mengerang-erang kesakitan sambil memegangi telinganya. Dokter sudah berusaha dengan membiusnya, namun semut dalam telinga itu masuk lebih dalam dan merusakkan bagian tubuhnya hingga anak itu tidak tertolong lagi.

__________________
Cerita itu membuat kami menjadi tidak mungkin melupakan kenangan tentang lumpur, sebab bagaimana pun kami adalah anak-anaknya.***

Surabaya, Agustus 2006