Selasa, 24 Juni 2008

Perempuan Paling Sunyi

Haris del Hakim

Kertarajasa, pada masa muda dikenal sebagai Ken Arok, tergeragap dari tidurnya. Ujung keris telah menempel di ulu hatinya. Kesadaran yang baru saja diperolehnya hilang sesaat kemudian kembali dan digenggamnya erat-erat. Dalam keadaan apa pun ia tetap seorang raja, berandal yang digelari Arok, dan panglima pasukan yang pernah menikamkan kerisnya ke jantung Tunggul Ametung.

Cahaya lampu minyak jarak di sudut ruangan membantu pandangan matanya yang sudah tua untuk mengenali anak muda yang sedang menghunuskan keris ke ulu hatinya. Ia ingat puluhan tahun lalu saat ia berbuat sama terhadap ayah pemuda itu. Kini ia harus berganti peran. Dia terbaring tak berdaya sebagaimana ayahnya, Tunggul Ametung. Anak tiri yang dibesarkan oleh kasih sayangnya itu sedang memerankan dirinya. Bukankah dulu dia juga mencecap kasih sayang yang dilimpahkan oleh Tunggul Ametung, meskipun atas saran dari Mpu Lohgawe? Sekarang, ia memetik karma dari pohon yang ditanamnya puluhan tahun lalu.

Ia masih terbaring. Tangannya meraba ke samping kanan dan tidak mendapati siapa-siapa. Ia tersenyum dan bertanya. “Ke mana, ibumu?”

Anak muda itu merunduk. Lengan kirinya menempel di leher ayah tirinya. Bibirnya berbisik dengan perlahan sambil mengucapkan kata-kata yang perih. “Mengapa kautanyakan perempuan yang kaupaksa menyintaimu kemudian kausakiti hatinya?”

Lelaki tua di atas ranjang pualam itu masih bisa menunjukkan wajah bersinar, meskipun tekanan lengan anak muda itu perlahan mulai menyesakkan nafasnya, dan ujung keris semakin menyarangkan mata tajamnya. Usia yang dijalaninya telah mengajarkan segala macam jenis kematian manusia. Bahkan, beberapa kali ia membantu malaikat maut mencabut nyawa manusia dan tidak bisa lagi menghitung berapa jumlahnya. Ia juga tahu suatu saat akan menghadapi kematian dengan cara yang tidak pernah terbayangkan olehnya. Dan, kematian di ujung keris yang pernah ditikamkan pada akuwu itu pula yang akan mengakhiri hidupnya.

“Aku tidak pernah menyakitinya,” kata Lelaki itu. “Akulah yang membebaskannya dari belenggu tulang rapuh bapakmu dan mengangkat derajatnya sejajar dengan para permaisuri raja. Bukankah ia ceritakan semua kepadamu dan menjelaskan dosa-dosa bapakmu, seperti yang selalu dikeluhkannya kepadaku di setiap malam?”

Anak muda itu geram. Ia semakin menindih tubuh tua yang tidak berdaya. Bibirnya mencibir, “Aku adalah samudera tumpahan jeritan luka hatinya. Sejak dalam buaian kudengar lagu-lagu perih wanita yang dikhianati orang yang pernah dianggap menyintainya. Ia tanamkan pula benih dendam kematian ayahku dan setia menyiraminya sepanjang umurku. Apakah wanita seperti itu kaukatakan terbebas dari belenggu dan menepuk dada di atas singgasana permaisuri?”

“Anusapati!” kata sang raja gusar. “Katakan padaku dosa apa yang kulakukan terhadap dirinya? Luka hati seperti apa yang menuntun seorang istri meninggalkan ranjang tidur suaminya?”

“Kertarajasa! Seperti inikah pertanyaan ayahku, Tunggul Ametung, sebelum kautikamkan kerismu ke jantungnya?” tanya Anusapati.

Lelaki tua itu tertawa. Anusapati buru-buru menggeser lengan kirinya ke pangkal leher raja yang tinggal beberapa saat lagi umurnya. Ia kuatir ada prajurit yang mendengarnya dan menimbulkan kecurigaan. Sementara lelaki tua itu tersengal-sengal. Kedua tangannya yang bebas sengaja tidak digunakan untuk melakukan perlawanan. Dia belum tentu kalah menghadapi anak kemarin sore yang sedang terbakar oleh dendam, tapi ia merasa sudah tua untuk selalu mengelak dari karma-karma yang pernah dilakukannya di waktu muda. Ia sudah mendapatkan semua warna hidup seorang manusia. Ia pernah menjadi berandal yang malang melintang di tengah kegelapan hutan, juga pernah menjadi pimpinan prajurit yang disanjung-sanjung kedatangannya. Ia telah merasakan sebagai anak terbuang dan terlantar, juga merasakan sebagai raja yang sabdanya dinantikan setiap orang. Ia pun telah mendapatkan Ken Dedes yang diperebutkan oleh para Adipati hingga Raja Kediri, bahkan sebagai lelaki telah mendapatkan semua wanita yang diinginkannya. Ia sudah mengalami nelangsa dihinakan sebagai gelandangan tanpa kampung halaman, juga mengalami puja sanjung sebagai raja Singasari. Kehidupannya tinggal disempurnakan oleh kematian.

“Anusapati!” kata Kertarajasa dengan tenang. “Tunggul Ametung mati di tangan Kebo Ijo dan bukan tanganku. Takdir telah menentukan seperti itu dan takdir pula yang mengangkatku sebagai pengganti Tunggul Ametung.”

Kini Anusapati yang tersenyum. “Aku percaya pada bibir wanita yang rahimnya melahirkanku daripada mulutmu. Seperti yang pernah kaukatakan, tidak ada yang lebih jujur dari perempuan yang sakit hati.”

Anusapati belum menikamkan kerisnya. Ia ingin membuat ayah tirinya itu menghiba untuk selembar nyawanya. Ia ingin menyaksikan bagaimana seorang raja yang selalu dimintai segala sesuatu, seperti dewa, memohon-mohon padanya.

“Rupanya ia sudah menceritakan semuanya kepadamu,” kata Kertarajasa. “Apakah ia juga menceritakan ke mana perginya saat ayahmu tewas di ujung keris?”

“Aku tidak pernah menanyakannya, tapi aku berjanji memberitahu jawabannya padamu saat kau sudah menjadi abu.”

Kertarajasa tersenyum tipis. Ia ingat pada saat remaja sering bertindak gegabah. Ia tertawa.

“Sekarang ceritakan sakit hati seperti apa yang membesarkanmu?” tanya Kertarajasa.

“Kertarajasa! Begitu berartikah sakit hati yang dipendam perempuan itu hingga lebih kaupentingkan dari nyawamu sendiri?”

Ayam jantan berkokok. Dinding-dinding kraton masih tetap beku dalam dingin. Tidak ada seorang prajurit pun yang memberikan tanda kehadirannya melalui suara langkah kaki. Anusapati telah mengatur semuanya. Ia belajar dari ibunya bagaimana Ken Arok menyusun rencananya selama berbulan-bulan demi menghunuskan keris ke jantung ayahnya. “Bahkan, ia juga merencanakan berapa orang yang harus menangis atas meninggalnya ayahmu,” begitu kata ibunya ketika itu.

Kertarajasa tersenyum mendapat tanggapan seperti itu. “Ya,” jawab Kertarajasa dengan nada bicara masih tenang dan berwibawa. “Sakit hati itu tentu sangat perih dan meremukredamkan hatinya, hingga waktu puluhan tahun tidak sanggup menghapuskan atau mengutuhkannya kembali. Aku bisa merasakan senggukan tangisnya melalui bibirmu. Tetapi, aku ingin sebelum berakhir hidupku kuketahui semua dosa yang pernah kulakukan. Biarlah aku tahu siapa diriku pada saat-saat menjelang sekaratku.”

“Apakah semua itu lebih berarti dari kerajaan yang kaubangun dengan darah ribuan orang ini?”

Kertarajasa tidak menyalahkan atau membenarkan. Dia memberikan nasehat, “Anusapati, kekuasaan tidak pernah abadi di tangan seseorang. Kekuasaan direbut, dipertahankan, diwariskan, atau diberikan secara paksa kepada orang lain. Kita tidak bisa memaksa diri untuk selalu menggenggamnya. Manusia semakin tua sementara orang-orang muda terus lahir ke dunia. Yang tua harus merelakan diri digantikan yang lebih muda. Pada akhirnya, manusia baru sadar bila menghadapi maut sendirian.”

Anusapati menyimak ungkapan ayah tirinya itu. Ia tidak memungkiri kewibawaan dan kebijaksanaannya. Hanya bayang-bayang ayahnya yang ia gambarkan di kepalanya yang selalu mengatakan bahwa ia tidak dapat berdusta bila lelaki itu adalah pembunuh ayahnya. Setiap kali bertemu dengannya, ia merasa seperti arang yang dilemparkan ke dalam tungku. Semakin bertambah umurnya semakin membara keinginan untuk membalaskan sakit hati ayah dan ibunya.

Kertarajasa seorang raja yang tidak mengenal gentar. Dalam keadaan leher tertekan lengan dan ujung keris yang sewaktu-waktu menusuk ke ulu hatinya, ia dapat berbicara lancar tanpa gagap sedikit pun. “Anusapati! Sebentar lagi matahari akan terbit. Lekas katakan sebelum tindakanmu ini diketahui oleh orang lain dan kau tidak dapat membalaskan dendam ayahmu. Bahkan, kamu sendiri yang akan dipancung di alun-alun kota dan tidak ada lagi yang kalian andalkan untuk membalas dendam kepadaku.”

Anusapati tertawa tanpa menggerakkan gerahamnya. “Inikah kekuatanmu terakhir sebagai seorang raja, Kertarajasa? Kau andalkan sisa-sisa kepercayaan dirimu dengan mengancamku. Kamu boleh memilih, kukatakan sendiri atau perempuan itu yang akan mengatakannya kepadamu?”

“Anakku Anusapati,” kata Kertarajasa dengan nada kebapakan. “Waspadalah terhadap dirimu sendiri. Jangan sekali-kali kemenangan membuatmu lupa diri dan sewenang-wenang, apalagi belum berada dalam genggaman tanganmu. Kamu pemuda tangguh yang sering bertindak sembrono. Jangan sia-siakan kesempatan yang diberikan kepadamu. Hunjamkan keris itu segera sebelum matahari terbit. Apakah kamu tidak mendengar talu lesung para petani di kejauhan?”

Pemuda itu melepaskan tekanan lengan kirinya. Ia memandangi wajah yang selalu dipanggilnya sebagai ayah. Ia tidak pernah merasa terbedakan dari Tohjaya. Batinnya berbisik, “Mengapa orang tua adalah yang meneteskan darahnya di tubuhku dan bukan yang memberikan kebaikan-kebaikan?” Barangkali benar kata ayah tirinya itu. Ia juga menjalani garis takdir untuk membunuhnya.

“Kau telah menikahi Uma dan seperti ini takdir yang harus kujalani,” jawab Anusapati. “Perempuan itu sering menerawang ke langit dan menyebut nama ayahku bila perih pengkhianatanmu melintas di batinnya. Ia bisa memaafkanmu saat kaubunuh Tunggul Ametung, tapi ia terlalu sakit dan menderita ketika mendengar Tohjaya menangis. Tidakkah kau perhatikan tubuhnya yang makin kurus dan kecantikannya yang berubah menjadi dongeng?”

Anusapati menitikkan air mata. Begitu pun lelaki yang berbaring di hadapannya. Tangan yang dulu kekar itu mengusap air bening di sudut matanya dengan jari telunjuk. Ia memandang anak tirinya yang memegang keris terhunus. “Katakan kepadanya bahwa Ken Arok minta maaf,” katanya penuh penyesalan.

Anusapati mengangguk. Ia melihat wajah ayah tirinya yang pasrah, menunggu ujung keris di tangannya yang akan menikam ulu hatinya. Dengan tangan gemetar Anusapati menikamkan keris pusaka pemberian ibunya itu. Ia pejamkan mata menyaksikan sang raja yang tersenyum menyambut maut.

“Anakku,” kata Kertarajasa. “Kuwariskan kerajaan ini tanpa dendam.”
Anusapati mengangguk. Ia tidak bisa berkata apa-apa hingga tidak terdengar lagi suara nafas. Perlahan ia membuka kedua matanya. Setetes air mata mengalir bersamaan hulu keris yang ditarik keluar dari dada pembunuh ayahnya. Darah menyembur dari lubang tikaman.

“Ayah, maafkan aku,” kata Anusapati menyarungkan kerisnya yang masih berlumuran darah.
Lelaki itu mengangguk sangat pelan sambil memejamkan mata. Kepalanya terkulai.***

Januari 2007

Tidak ada komentar: